Rabu, 16 Juli 2025

Comeback Ginting Gagal, Sport Science Badminton Indonesia Dipertanyakan


Anthony Sinisuka Ginting kembali ke lapangan setelah absen selama enam bulan akibat cedera, namun comeback yang diharapkan menjadi momen kebangkitan justru berujung pada kegagalan. Dalam laga babak 32 besar Japan Open 2025 yang berlangsung di Tokyo Metropolitan Gymnasium, Rabu pagi WIB, Ginting takluk dari tunggal putra Jepang, Kodai Naraoka, dengan skor 13-21 dan 19-21.


Ginting tampak belum sepenuhnya menemukan kembali ritme dan agresivitas khasnya. Dalam dua gim yang berlangsung cepat, Kodai memanfaatkan kelambatan transisi Ginting serta akurasi serangannya yang belum presisi. Hasil ini menambah daftar kekalahan para pemain elite Indonesia di turnamen besar tahun ini.


Sebagai tunggal putra unggulan yang selama ini menjadi andalan Indonesia di turnamen besar, tersingkirnya Ginting pada babak pembuka menandai peringatan serius bagi manajemen bulu tangkis Indonesia. Ini bukan sekadar soal hasil pertandingan, melainkan cermin dari kelemahan dalam pengelolaan pemulihan atlet dan pengaturan ritme kompetitif pasca-cedera.


Ginting yang kini berusia 28 tahun sebenarnya berada di fase puncak kedewasaan permainan, tetapi ketidaksiapan secara fisik dan mental menunjukkan bahwa manajemen sport recovery belum bekerja optimal. Kembalinya seorang atlet dari cedera harus disiapkan dengan strategi ilmiah, tidak hanya latihan fisik, tetapi juga pemetaan psikologis dan manajemen tekanan.


Kekalahan bukan akhir dari segalanya. Tapi jika sistem tak belajar dari kekalahan, maka itu adalah awal dari kejatuhan lebih besar. Ginting telah berjuang, kini giliran manajemen bulu tangkis kita yang harus bangkit dan berubah.


Dari sudut pandang manajemen olahraga modern, kegagalan Ginting mencerminkan perlunya pendekatan multidisipliner yang lebih tajam. Kinerja atlet elite seperti Ginting harus dikelola dengan pendekatan sport science yang terintegrasi, termasuk analitik performa, program penguatan otot pasca-cedera, serta simulasi pertandingan.


Lebih lanjut, absennya Ginting selama enam bulan seharusnya diikuti dengan uji coba bertahap di level kompetisi yang lebih rendah sebelum turun di ajang BWF Super 750 seperti Japan Open. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan diri dan kecepatan permainan. Strategi tersebut umum diterapkan dalam manajemen pemain di negara-negara maju.


Kekalahan ini juga menyingkap lemahnya sistem back-up atlet tunggal putra Indonesia. Setelah Ginting tersingkir, tinggal Alwi Farhan yang menjadi satu-satunya wakil di sektor tunggal putra. Ketergantungan pada satu atau dua nama besar tanpa regenerasi sistemik menunjukkan kurangnya investasi jangka panjang pada pembinaan bibit muda secara menyeluruh.


Manajemen PBSI perlu melakukan evaluasi mendalam, bukan hanya terhadap hasil pertandingan, tapi juga sistem monitoring kesehatan atlet, pemilihan turnamen, serta pembuatan roadmap pemulihan atlet pasca cedera. Ginting bisa jadi contoh kasus berharga dalam pembenahan sistemik ini.


Secara mental, tekanan untuk langsung tampil prima setelah cedera besar jelas membebani seorang atlet. Jika tidak dibekali dengan pendampingan psikologis yang memadai, performa mereka akan goyah. Hal ini sejalan dengan prinsip manajemen sport performance, bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan performa fisik.


Japan Open 2025 seharusnya menjadi momen pembuktian bahwa Indonesia memiliki sistem manajemen atlet berkelas dunia. Namun realitasnya, Ginting justru tampil di bawah ekspektasi karena belum siap secara utuh untuk bersaing di level elite. Situasi ini menjadi tamparan bagi ekosistem bulu tangkis nasional.


Dibanding Jepang yang kini sukses mengelola regenerasi atlet seperti Kodai Naraoka, Indonesia tampak berjalan stagnan. Jepang menyiapkan atletnya dengan pendekatan profesional, termasuk memaksimalkan peran sport technology dan machine learning dalam strategi pelatihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

2 Struktur Raksasa di Dalam Bumi Diduga Picu Letusan Gunung Berapi Mematikan

Letusan gunung berapi bukan sekadar semburan lava. Ia bisa meluluhlantakkan infrastruktur, menghentikan penerbangan berhari-hari, menghancur...