Selasa, 01 Juli 2025

Film Bebadong: Realitas Pahit Pekerja Migran Sasak dalam Balutan Horor Komedi


Di tengah kebun nan gelap, seorang laki-laki muda tampak mengendap-endap. Suara dedaunan berderak-derak, langkahnya menerjang genangan. Ia kelihatan awas sekaligus waswas, sesekali ia berhenti memastikan tak ada orang di sekitarnya. Tatapan matanya cemas, langkahnya terburu-buru. Tujuannya, rumah sang belian.


Ketegangan itu membuka “Bebadong”, film pendek berdurasi sekitar 20 menit ini. Sebuah film dengan genre horor komedi yang mencoba menyampaikan pesan serius melalui kisah-kisah mistik, kelam, sekaligus lucu. Film yang dipersembahkan oleh ADBMI Foundation ini membawa penonton pada perjalanan absurd calon pekerja migran yang bersikeras berangkat ke luar negeri lewat jalur ilegal, berbekal keyakinan pada bebadong.


Sebagai pendamping desa, kisah seperti ini bukan fiksi belaka. Banyak warga desa, khususnya di wilayah-wilayah dengan tingkat migrasi tinggi seperti Lombok, yang terjebak pada sirkuit migrasi ilegal karena himpitan ekonomi dan minimnya perlindungan sistemik. Dalam film ini, realitas itu dibungkus satire dan nuansa supranatural, tetapi tak menghilangkan esensi masalahnya.


Karakter nenek belian—yang menjadi simbol pusat harapan dan solusi jalan pintas—diperlihatkan sangat berkuasa, bahkan melebihi logika hukum dan agama. Ia menjanjikan keselamatan, kekayaan, dan kemudahan melalui bebadong, bahkan bekerja sama dengan tekong pengirim pekerja ilegal. Dunia supranatural dan sistem bayangan ini bukan sekadar bumbu horor, tetapi cermin nyata ketimpangan informasi dan pendidikan di desa.


Bebadong: Antara Kepercayaan, Kemiskinan, dan Tekanan Sosial

Istilah bebadong dalam bahasa Sasak merujuk pada jimat atau pegangan gaib yang diyakini memberi perlindungan dan kekuatan. Dalam konteks migrasi, bebadong bukan sekadar benda, tapi simbol harapan dan perlawanan dari mereka yang terpinggirkan dan tak memiliki akses perlindungan formal dari negara.


Sementara itu, belian adalah sebutan bagi dukun dalam tradisi masyarakat Sasak. Ia dipercaya sebagai perantara antara manusia dan kekuatan supranatural. Dalam banyak kasus, belian menjadi rujukan terakhir ketika akal sehat dan hukum formal dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan hidup, termasuk nasib pekerja migran.


Dari pengalaman mendampingi warga desa, banyak calon pekerja migran yang akhirnya lebih percaya pada jalur tidak resmi karena dirasa lebih cepat, murah, dan tanpa ribet. Film ini menangkap ketegangan itu dengan humor pahit: antrean orang-orang miskin menunggu ‘jimat’ di rumah dukun, berharap bisa segera ke Malaysia dan menjadi kaya. Dialog dan ekspresi para tokoh terasa familiar, seperti cuplikan hidup sehari-hari di dusun-dusun pinggiran.


Film pendek ini menyinggung pula soal bantuan sosial pemerintah untuk TKI korban kecelakaan. Ketika istri dari korban mendatangi petugas untuk pencairan bantuan, ia ditolak hanya karena suaminya dulu berangkat secara ilegal. Potret ini menyentil langsung bagaimana regulasi negara sering kali menutup mata terhadap realitas dan kerentanan warga desa.


Sebagai pendamping desa, situasi seperti ini sering kali dilematis. Di satu sisi, kita diminta menyosialisasikan jalur migrasi resmi dan prosedural. Namun di sisi lain, sistem desa, desa-desa tertinggal, dan perangkatnya kerap tak cukup punya daya untuk benar-benar melindungi warganya dari bujuk rayu tekong dan janji palsu.


Ketika Desa Tak Lagi Aman: Bebadong Menggantikan Negara

Film ini, meskipun dibalut dalam genre horor komedi, menjadi kritik serius atas ketidakhadiran negara di titik-titik paling genting kehidupan rakyatnya. Dalam banyak adegan, warga desa justru bersandar pada belian, bukan kepala desa. Mereka percaya pada bebadong, bukan pada sistem perlindungan migran. Mereka antre pada sang nenek, bukan di Balai Latihan Kerja.


Bagi pendamping desa, ini menjadi alarm penting. Edukasi soal migrasi aman, pemberdayaan ekonomi lokal, dan penguatan sistem informasi harus lebih dari sekadar brosur. Harus hadir dalam kehidupan warga, terutama kalangan muda. Dalam film ini, karakter utama meyakini bahwa bebadong bisa menjaganya dari peluru polisi. Imajinasi seperti itu bukan fiksi semata—di lapangan, kami menjumpai narasi yang mirip dan kadang lebih ekstrem.


Film ini juga dengan satir menunjukkan praktik percaloan yang terjadi bahkan di tingkat lokal. Ada “komisi” untuk setiap orang yang berhasil diberangkatkan secara ilegal. Nenek belian dan tekong saling berbagi untung, sedangkan rakyat desa kehilangan nyawa atau masa depan.


Namun sayangnya, beberapa adegan dalam film ini kurang menggambarkan suasana masyarakat Sasak secara autentik. Misalnya, adegan ketika tamu disambut di ruang tamu lengkap dengan kursi dan meja. Padahal, masyarakat Sasak menengah ke bawah umumnya menerima tamu di berugaq (gazebo kayu khas Sasak) atau di teras rumah. Penggunaan kursi dan meja seperti dalam tradisi masyarakat Jawa membuat kesan lokalitasnya sedikit kabur.


Hal lain yang juga patut dikritisi adalah visualisasi tokoh belian atau dukun yang digambarkan seperti sosok Mak Lampir dalam film-film horor lama: bersuara serak, dengan aura menyeramkan. Penggambaran ini seperti mencoba meminjam simbol antagonis klasik dalam dunia horor populer Indonesia.


Entahlah apa maksud dari pendekatan ini—apakah untuk menegaskan bahwa belian adalah tokoh jahat yang harus ditakuti, atau hanya sekadar mengikuti selera visual horor masa lalu. Namun, pendekatan semacam ini tampak terlalu menyederhanakan peran belian dalam realitas sosial masyarakat lokal.


Dalam kenyataannya, sosok belian di tengah masyarakat Sasak tampil biasa saja. Mereka tidak menyeramkan secara fisik, namun memiliki daya pengaruh yang kuat karena tutur kata yang meyakinkan dan kedekatan sosialnya. Penggambaran menyeramkan seperti Mak Lampir justru mengaburkan kompleksitas budaya yang melekat pada figur belian itu sendiri.


Dari Layar ke Lapangan: Panggilan untuk Bertindak

Sebagai karya audiovisual, “Bebadong” berhasil mengangkat isu migrasi ilegal dan budaya mistik dengan cara yang segar, tidak menggurui, namun tetap kritis. Film ini bukan hanya untuk ditonton, tetapi juga untuk direnungkan dan dijadikan bahan diskusi—terutama bagi para pendamping desa, pengambil kebijakan, dan aktivis migrasi.


Film ini menyodorkan pertanyaan penting: mengapa masyarakat lebih percaya bebadong dibanding perlindungan formal? Mengapa desa tak mampu menahan laju warganya ke luar negeri secara ilegal? Dan yang paling penting, siapa yang sebenarnya kita bebani ketika sistem gagal melindungi?


Dari perspektif pendamping desa, “Bebadong” adalah pengingat akan pentingnya kehadiran negara dalam bentuk paling sederhana: mendengarkan, memfasilitasi, dan mengedukasi. Sistem yang tanggap, responsif, dan berbasis pada realitas desa bisa menjadi pelindung sejati—bukan bebadong, bukan belian, bukan juga tekong.


Film yang dipersembahkan oleh ADBMI Foundation ini layak ditonton oleh siapa pun yang peduli pada masa depan pekerja migran dan kehidupan desa. Di balik kelucuannya yang getir dan suasana horornya yang surealis, “Bebadong” menghadirkan potret jujur tentang apa yang terjadi ketika negara abai dan warga desa dipaksa bertahan dengan cara apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Avatar: The Way of Water, Dominasi Tak Terbendung di Box Office Global

Di tengah serbuan film-film baru yang berlomba menarik perhatian, “ Avatar: The Way of Water ” berdiri sebagai raksasa sinematik yang tak t...