Xabi Alonso hampir tak percaya kala menyaksikan PSG menggilas anak asuhnya dengan skor telak 4-0 dalam laga semifinal Piala Dunia Antarklub 2025 yang berlangsung dini hari kemarin.
Skuad asuhan Luis Enrique ini tampil luar biasa dengan menekan sejak menit pertama, membuat permainan Los Blancos tak berkembang dan akhirnya tak berdaya di sepanjang laga.
Les Parisiens mencatatkan penguasaan bola sebesar 69 persen dengan melepaskan 17 tembakan sepanjang laga, dengan tujuh di antaranya tepat sasaran. Akurasi umpan mereka pun impresif, mencapai 93 persen. Sebaliknya, Real Madrid melepaskan 11 tembakan, dengan dua di antaranya tepat sasaran. Akurasi umpan mereka mencapai 83 persen, dengan penguasaan bola sebesar 31 persen.
Kekalahan telak Madrid ini sebenarnya lebih kepada pemilihan taktik, organisasi permainan dan kesiapan mental pemain, plus nasib sial karena dua kesalahan bek tengah Madrid langsung diganjar PSG dengan dua gol. Mental Madrid seketika drop!
"Maksud hati hendak memeluk gunung, apa daya gunungnya keburu meletus!"
Luis Enrique adalah mantan pemain Real Madrid dan juga mantan pemain/pelatih Barcelona. Dia paham betul filosofi permainan menyerang Real Madrid dan juga "new-Barcelona" racikannya yang direpresentasikan dalam new-PSG sekarang ini. Tidak ada pemain bintang, tidak ada Los Galacticos. Yang ada hanyalah kolektivitas permainan, baik ketika bertahan, mengontrol permainan maupun pada saat menyerang.
Ibarat kata, Los Blancos hendak mengasah cakar dalam persiapan menyerang, eh gak taunya Les Parisiens sudah langsung menyergap dan mencabik gawang Courtois tiga kali hanya dalam waktu 24 menit saja. Praktis pertandingan sudah usai. Los Blancos bukan hanya kehilangan cakar, tapi juga "jari tempat cakar itu berada." Duh Mak Nyak!
"Nothing is impossible." Dua puluh tahun lalu, kala itu Alonso masih bercelana pendek dalam seragam Liverpool. Bersama Steven Gerrard dan Vladimir Smicer mereka ini menjalankan mission impossible, dengan mencetak tiga gol ke gawang AC Milan. Padahal sebelumnya mereka sudah ketinggalan tiga gol di babak pertama. Misi itu kemudian berhasil setelah mereka kemudian memenangkan gelar Liga Champion 2005.
Akan tetapi Real Madrid bukanlah Liverpool. Lagipula Alonso tentunya tidak akan diizinkan untuk menendang bola. Kalau ia tetap memaksakan, maka ia akan terkena "pasal penistaan bola sepak!"Jadi ia hanya bisa tafakur saja melihat Real Madrid digilas PSG!
Sejak zaman Galacticos jilid satu hingga kini, Madrid dengan attacking footballnya lebih memfokuskan ke sisi penyerangan. Mereka kemudian memborong penyerang-penyerang terbaik di dunia.
Akibatnya "pemain yang paling menderita" adalah gelandang bertahan, dua bek tengah plus kiper karena tanggung jawab pertahanan plus keseimbangan tim ada di pundak mereka ini.
Di masa jayanya, Casemiro adalah gelandang bertahan terbaik yang pernah dimiliki Madrid. Tchouameni juga gelandang hebat. Bersama Bellingham dan Arda Guller mereka bertiga mengisi posisi tengah Madrid kemarin. Penampilan mereka bertiga sebenarnya tidak jelek.
Masalahnya, selain bertugas memutus serangan lawan, mereka juga dituntut untuk mengkreasi serangan plus membagi bola kepada trio Vinicius, Mbappe dan Gonzalo Garcia.
Sebaliknya dengan trio gelandang PSG, Neves, Vitinha dan Ruiz yang sepertinya begitu digdaya kemarin, karena selalu dibantu trio penyerang, Doue, Dembele dan Kvaratskhelia yang selalu bergerak turun naik menjemput bola.
rio penyerang PSG ini mirip dengan trio penyerang Liverpool dulu, yaitu langsung menekan lawan di area lawan sendiri, pada saat mereka kehilangan bola.
Akhirnya trio gelandang PSG itu bisa berkata kepada trio gelandang Madrid, "Jadi gelandang itu berat, kalian tak kan kuat. Biar kami saja..."
Dulu Vinicius Jr sering dikritik karena tak mau turun untuk membantu pertahanan. Musim lalu Mbappe datang. Ketika masih di PSG, Mbappe juga dikritik karena tak mau turun untuk membantu pertahanan.
Apakah kedatangan Mbappe ke Madrid kemudian membuat pasangan Mbappe-Vinicius ini mau turun untuk membantu pertahanan? Jawabnya tetap nehi babuji!
Kehilangan pemain baru Dean Huijsen (hukuman kartu) dan Alex Arnold (cedera) benar-benar menjadi petaka bagi Madrid. Raul Asencio yang dipasang menggantikan Huijsen tampil buruk.
Kesalahannya di menit kelima langsung dihajar Fabian Ruiz dengan gol. PSG 1 Madrid 0. Tiga menit kemudian Rudiger, tandem Asencio di pos bek tengah melakukan kesalahan pula. Bolanya direbut Dembele untuk mencetak gol kedua. PSG 2 Madrid 0, di menit ke-8!
Valverde yang kemudian mengisi pos bek kanan adalah seorang gelandang serang. Di La Liga Ia memang pernah beberapa kali bermain sebagai bek kanan. Namun kali ini ia berhadapan dengan PSG, bukan Getafe atau Girona.
Fran Garcia di pos bek kiri juga keteteran. Bahkan bek kanan PSG, Achraf Hakimi bisa leluasa memberikan asis di menit ke-24 kepada Ruiz untuk mencetak gol ketiga PSG!
Transformasi PSG menjadi sebuah tim yang sangat kolektif dan solid ini terjadi sejak kepergian Kylian Mbappe pada musim panas lalu. Luis Enrique kemudian meracik ulang lini depan dengan komposisi Ousmane Dembele, Desire Doue, Khvicha Kvaratskhelia, Bradley Barcola dan Goncalo Ramos.
Kelima penyerang ini sangat solid. Namun Enrique sering memilih Barcola dan Ramos sebagai pemain pengganti untuk mengubah taktik permainan atau hanya sekedar menambah jam terbang mereka ini.
Lini tengah diisi oleh duo Portugal, Joao Neves dan Vitinha, serta duo Spanyol, Fabian Ruiz dan Carlos Soler sebagai pelapisnya. Vitinha adalah "Casemiro-nya PSG." Pemutus serangan lawan dan sekaligus orang pertama yang membangun serangan. Peran Vitinha ini sangat vital. Ia dikenal karena dribbling, passing, dan kontrol bolanya yang akurat.
Peran Joao Neves juga penting. Walaupun berusia muda, ia adalah salah satu gelandang box-to-box terbaik di dunia sepak bola bersama pemain-pemain seperti Nicolo Barella, Declan Rice, Frenkie de Jong dan Joshua Kimmich. Bersama Vitinha, Neves bahu-membahu menjaga lini tengah PSG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar