Di antara deret aplikasi yang terbuka di ponsel, pernahkah seseorang berpikir: "Aku belum makan hari ini?"
Kita hidup di zaman di mana satu gigabyte terasa lebih penting daripada satu genggam beras.
Paket data dibeli tanpa pikir panjang. Sementara beras, sayur, dan lauk, dipertimbangkan dengan berat.
Bukan karena tidak tahu mana yang lebih penting. Tapi karena kita telah dibentuk oleh budaya yang memutarbalikkan kebutuhan.
Kuota habis, panik.
Nasi habis, bisa ditunda.
Realita yang Tak Lagi Rasional
Mungkin terdengar berlebihan. Tapi coba tengok sekeliling. Ada yang lebih rela kehabisan uang makan demi tetap aktif di dunia maya.
Ada yang menunda beli beras, tapi tak pernah telat beli paket unlimited.
Bukan karena tidak peduli pada tubuh.
Tapi karena di zaman ini, "tidak terlihat" di internet terasa seperti tidak hidup.
Eksistensi hari ini tak lagi diukur dari napas yang teratur, tapi dari sinyal yang lancar.
Bukan Salah Teknologi, tapi Salah Arah Hidup
Internet membuka banyak peluang: belajar, bekerja, terhubung.
Namun saat ia mulai menggantikan kebutuhan paling dasar: makan, tidur, bercakap, hadir; maka kita tak sedang berkembang, kita sedang tersesat.
Kita bisa duduk berjam-jam menatap layar,
tapi malas berdiri untuk masak nasi.
Kita bisa membeli kuota besar,
tapi berat hati membeli telur sebutir.
Tapi kita lupa bahwa tubuh ini bukan mesin.
Ia perlu makan, istirahat, dan sentuhan nyata.
Miskin atau Salah Memilih?
Ada yang menyalahkan kemiskinan.
Padahal sebagian masalah berasal dari pola pikir.
Seseorang bisa mengeluarkan 200 ribu per bulan untuk kuota,
tapi tak punya cukup uang untuk beli sembako.
Seseorang bisa mencicil smartphone,
tapi merasa vitamin adalah barang mahal.
Mungkin kita perlu bertanya,
bukan hanya "apa yang bisa aku beli?",
tapi "apa yang benar-benar aku butuhkan?"
Lambat laun, Tubuh Menagih yang Sebenarnya
Notifikasi bisa menunda lapar.
Scroll media sosial bisa meninabobokan rasa lelah.
Tapi tubuh tidak bisa dibohongi. Ia akan memberi sinyal, bukan lewat layar, tapi lewat lemas, lesu, dan penyakit yang diam-diam tumbuh.
Kita merasa aktif, padahal tubuh perlahan rusak.
Kita merasa sibuk, padahal tak benar-benar hidup.
Saatnya Kembali Memilih dengan Sadar
Bukan berarti harus menghindari internet.
Tapi sudah waktunya kita menyadari bahwa koneksi sejati bukan di layar, tapi di meja makan bersama, di waktu istirahat yang cukup, di perhatian pada tubuh sendiri.
Makan bukan kemewahan.
Beras bukan pelengkap.
Dan kuota, sekuat apapun sinyalnya, tak bisa menggantikan kebutuhan dasar manusia.
Antara Gigabyte dan Genggam Nasi
Jika hari ini kita lebih rela kehabisan beras daripada kehilangan sinyal,
maka mungkin kita telah kehilangan arah.
Sebelum itu menjadi kebiasaan yang tak bisa dibalik, mari ambil waktu sebentar:
Matikan layar.
Lihat isi dapur.
Periksa isi hati.
Dan tanyakan pada diri sendiri:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar