Di dunia kerja, integritas seharusnya menjadi fondasi. Tapi yang menarik---dan ironis---adalah bagaimana orang yang melanggar fondasi itu, justru bisa tampil sebagai korban yang paling menyedihkan. Seseorang bisa menyusup dalam sistem, bermain di belakang layar, dan saat terungkap... ia berdiri dengan wajah terluka, mengatakan: "Saya dijatuhkan."
Di ruang kantor, ini bukan cerita baru. Seorang karyawan yang selama ini terlihat aktif, ramah, bahkan dianggap "berkontribusi", ternyata diam-diam menjalin kerja sama pribadi dengan vendor tempat perusahaan bermitra. Tanpa izin. Tanpa transparansi. Dalam dunia hukum perusahaan, ini bukan kesalahan teknis---ini pelanggaran etika.
Dan ketika perusahaan mengambil keputusan tegas, seperti pemutusan hubungan kerja, tiba-tiba narasi berbalik: "Saya di-PHK sepihak. Mereka iri karena saya lebih disukai vendor. Perusahaan ini tidak manusiawi."
Di sinilah muncul satu pola menarik: fenomena playing victim di tempat kerja.
Secara psikologis, ini bukan hal langka. Banyak orang, saat terpojok oleh konsekuensi dari pilihan mereka sendiri, tidak memilih untuk mengakui, tapi justru menciptakan narasi yang menyelamatkan ego.
Karena mengaku salah itu menyakitkan. Karena bertanggung jawab penuh itu menuntut kedewasaan.
Dan tidak semua orang siap dewasa dalam ruang yang menuntut kedewasaan emosional.
Playing victim menjadi solusi instan. Dengan satu kalimat dramatis, seseorang bisa mengalihkan sorotan dari perilakunya ke luka palsu yang ia tampilkan. Ia menggeser percakapan: dari "Mengapa kamu melanggar?" menjadi "Mengapa mereka begitu kejam padamu?"
Di satu sisi, ini manipulatif. Tapi di sisi lain, ini juga bentuk pertahanan psikologis dari seseorang yang belum siap menghadapi dirinya sendiri.
Mengapa Banyak Orang Memainkan Peran Korban?
Ada beberapa alasan yang membuat peran ini begitu menggoda :
1. Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism)
Dalam psikologi, ini disebut sebagai projection atau denial. Daripada menghadapi rasa bersalah yang menekan, orang lebih memilih memindahkannya ke luar. Menyalahkan sistem. Menyalahkan atasan. Menyalahkan siapa pun kecuali diri sendiri.
2. Kebutuhan Akan Simpati Sosial
Dalam kultur kita, orang yang tampak menderita sering kali lebih cepat mendapat dukungan dibanding orang yang mengakui kesalahan. Maka ketika seseorang dipecat karena pelanggaran, memainkan drama "aku dijatuhkan" bisa jadi strategi bertahan secara sosial. Ia ingin tetap diterima di lingkungan luar, walau kehilangan posisi di dalam.
3. Ketidakmampuan Mengelola Rasa Malu
Malu karena ketahuan bisa terasa lebih menyakitkan daripada konsekuensi itu sendiri. Maka peran korban dijadikan pelindung dari rasa malu. Seolah-olah, yang terjadi bukan karena tindakan salahnya, tapi karena nasib buruk.
4. Ketidaksiapan Emosional untuk Bertumbuh
Mengakui kesalahan bukan hanya soal lisan, tapi soal kesiapan mental. Butuh keberanian untuk bilang: "Saya salah, dan saya siap belajar." Tanpa keberanian itu, orang akan terus membuat cerita untuk membenarkan dirinya---dan menyalahkan semua orang yang membongkarnya.
Ketika akhirnya sistem menegakkan aturan, orang yang sudah lama nyaman melanggar merasa dikhianati. Padahal, ia hanya lupa bahwa keterbiasaan bukan berarti kebenaran. Yang dibiasakan belum tentu yang benar. Dan yang tidak ditegur selama ini, bukan berarti benar.
Refleksi paling penting tetap kembali ke individu. Apakah kita cukup jujur untuk mengakui bahwa dalam beberapa situasi, kita pernah memilih zona abu-abu? Apakah kita cukup berani untuk berkata: "Saya yang salah. Dan saya akan belajar."?
Karena di titik itulah seseorang bisa tumbuh. Bukan dari pujian. Bukan dari rasa kasihan. Tapi dari pengakuan jujur atas kekeliruannya sendiri.
Dan sejujurnya, orang lain mungkin bisa tertipu oleh narasi playing victim yang kita bangun. Tapi di malam hari, saat kita sendirian dengan batin kita sendiri, tidak ada kebohongan yang bisa bertahan lama.
Dunia kerja hari ini bukan hanya tentang target dan performa. Tapi juga tentang kematangan karakter. Kita tidak hanya diukur dari apa yang kita kerjakan, tapi dari bagaimana kita bersikap ketika kita salah.
Jangan buru-buru menyebut diri korban. Mungkin, yang benar adalah : kita diberi pelajaran.
Dan pelajaran itu, jika diterima dengan jujur, maka akan membuat kita jadi manusia yang lebih utuh dan bukan sekadar pekerja yang kelihatan sibuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar