Jumat, 18 Juli 2025

Review Film "Downfall The Case Against Boeing"



Judul Film: Downfall The Case Against Boeing



Durasi: 89 menit


"Downfall: The Case Against Boeing" (2022) adalah sebuah film dokumenter yang mengungkap rangkaian peristiwa tragis di balik jatuhnya dua pesawat Boeing 737 MAX Lion Air Penerbangan JT610 (2018) dan Ethiopian Airlines Penerbangan ET302 (2019) yang menewaskan total 346 orang. Film ini tidak hanya menyajikan kronologi kecelakaan, tetapi juga menggali secara mendalam faktor-faktor korporasi, regulasi, dan teknis yang menjadi akar masalah, serta dampaknya terhadap para korban dan industri penerbangan global.


Film ini dimulai dengan rekonstruksi dua kecelakaan maut tersebut, yang memiliki pola serupa seperti pesawat yang tiba-tiba menukik ke bawah tak terkendali sesaat setelah lepas landas. Investigasi mengungkap bahwa penyebab utamanya adalah Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), sebuah fitur otomatis yang dirancang Boeing untuk mencegah pesawat kehilangan daya angkat (stall). Namun, sistem ini memiliki kelemahan fatal ia hanya mengandalkan satu sensor sudut serang (angle of attack/AoA), yang rentan error. 


Jika sensor memberikan data salah, MCAS akan terus memaksa hidung pesawat ke bawah tanpa bisa dihentikan kecuali pilot mengetahui prosedur khusus untuk menonaktifkannya. Masalahnya, Boeing tidak secara jelas menginformasikan keberadaan MCAS kepada maskapai maupun pilot. Bahkan, dalam manual pelatihan 737 MAX, sistem ini sama sekali tidak disebutkan. Akibatnya, kru Lion Air dan Ethiopian Airlines tidak siap menghadapi situasi darurat ketika MCAS mengaktifkan diri secara salah. Dalam kasus Lion Air, pilot sempat berhasil mematikan sistem, tetapi MCAS kembali aktif karena prosedur reset yang tidak dipahami dengan baik. Sementara itu, pesawat Ethiopian Airlines jatuh hanya beberapa menit setelah lepas landas karena pilot kewalahan melawan sistem yang terus mendorong pesawat ke tanah. 


Film ini mengungkap bagaimana Boeing, yang dulu dikenal sebagai perusahaan yang mengutamakan keselamatan, perlahan berubah menjadi korporasi yang lebih mementingkan keuntungan dan persaingan pasar. Pada 2010an, Boeing menghadapi tekanan besar dari pesaingnya, Airbus, yang meluncurkan A320neo varian lebih efisien bahan bakar dari A320. Untuk merespons hal ini, Boeing memutuskan untuk tidak membuat pesawat baru, melainkan memodifikasi model lama 737 NG menjadi 737 MAX dengan mesin yang lebih besar.

 

Namun, perubahan desain ini menciptakan masalah aerodinamis: mesin yang lebih besar dan dipasang lebih ke depan membuat pesawat rentan mengangkat hidung secara berlebihan, meningkatkan risiko stall. Alih-alih mendesain ulang pesawat (yang membutuhkan waktu dan biaya besar), Boeing memilih solusi cepat dengan menambahkan MCAC sebuah sistem perangkat lunak yang bisa "menyelamatkan" pesawat tanpa perlu perubahan fisik besar. Keputusan ini didorong oleh keinginan untuk menghindari pelatihan pilot yang mahal dan panjang. Boeing ingin agar 737 MAX bisa diterbangkan oleh pilot 737 NG tanpa sertifikasi ulang yang rumit, sehingga lebih menarik bagi maskapai.


Film ini juga menyoroti bagaimana budaya perusahaan yang berubah dari fokus pada rekayasa berkualitas menjadi terobsesi pada efisiensi biaya dan kecepatan produksi telah mengorbankan keselamatan. Mantan insinyur Boeing dan whistleblower dalam film mengungkapkan bahwa banyak karyawan yang merasa tidak nyaman dengan keputusan manajemen, tetapi suara mereka diabaikan.


Salah satu temuan mengejutkan dalam film ini adalah peran Federal Aviation Administration (FAA) yang seharusnya mengawasi keselamatan penerbangan, tetapi justru memberikan keleluasaan berlebihan kepada Boeing. FAA mengadopsi sistem self-certification, di mana Boeing sendiri yang melakukan sebagian besar pengujian dan penilaian keamanan pesawatnya. Praktik ini memungkinkan Boeing untuk menyembunyikan informasi kritis tentang MCAS, termasuk betapa berbahayanya sistem itu jika gagal. 


Bahkan setelah kecelakaan Lion Air, Boeing dan FAA tidak langsung mengground 737 MAX. Boeing bersikeras bahwa pesawatnya aman dan hanya membutuhkan pembaruan perangkat lunak kecil. Baru setelah Ethiopian Airlines jatuh lima bulan kemudian, tekanan global memaksa FAA untuk menghentikan operasional 737 MAX di seluruh dunia. Investigasi kemudian mengungkap bahwa Boeing sebenarnya telah mengetahui masalah MCAS sebelum Lion Air jatuh, tetapi memilih untuk tidak mengambil tindakan cepat. 


Film ini memberikan panggung bagi keluarga korban yang berjuang untuk keadilan. Banyak dari mereka yang awalnya tidak menyadari bahwa kecelakaan disebabkan oleh kelalaian korporasi, bukan kesalahan pilot atau faktor teknis biasa. Dokumenter menyajikan wawancara emosional dengan orang-orang yang kehilangan anggota keluarga, serta upaya mereka untuk menuntut transparansi dari Boeing. Pada akhirnya, Boeing menghadapi konsekuensi hukum dan finansial yang besar. Perusahaan itu didenda lebih dari $2,5 miliar dalam penyelesaian kasus dengan Departemen Kehakiman AS, meskipun sebagian besar denda berbentuk kompensasi kepada maskapai bukan keluarga korban. Sementara itu, CEO Boeing Dennis Muilenburg mengundurkan diri, tetapi tidak ada eksekutif yang menghadapi tuntutan pidana.


Dari film ini dapat membuka mata kita, bahwa tragedi besar tak selalu lahir dari kegagalan teknis semata, tapi juga akibat budaya organisasi yang salah arah. Dokumenter ini penting ditonton, bukan hanya untuk mereka yang tertarik pada dunia penerbangan, tapi juga bagi siapa pun yang peduli tentang kepemimpinan, etika, dan keselamatan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Lampu Pamungkas Padam ! Selamat Jalan ke Dunia Squid Game

  Pada 17 Juli 2025 waktu Korea (KST), " Squid Game " secara resmi merilis video perpisahan terakhir bertajuk "Goodbye",...