Jendela-jendela rumah itu terbuka lebar, tirainya menggantung lunglai seperti janji-janji yang tak pernah ditepati. Dari luar, mata-mata asing menatap masuk---bebas, rakus, dan tak diundang. Tapi penghuni rumah ini... mereka tidak peduli. Mereka mandi, telanjang, menyabuni tubuh di bawah sorotan mata dunia, seperti tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Seperti rasa malu telah dikuburkan bersama tata krama.
Aku berdiri kaku, tubuhku terasa telanjang meski masih berpakaian. Bukan telanjang fisik, tapi telanjang dalam arti yang lebih purba, tanpa lindung, tanpa sekat, tanpa dinding antara aku dan segala yang menilai. Aku meminta seseorang menutup tirai. Satu suara saja yang menggubris permintaanku sudah cukup. Tapi tak ada yang berpaling. Tirai tetap terbuka. Mata tetap menatap. Dunia tetap tak peduli.
Di ujung lorong, kulihat teman lamaku. Ia punya kamar mandi sendiri di dalam kamarnya yang tertutup, bersih, dengan wangi sabun dan handuk putih tergantung. Tapi anehnya, ia justru memilih mandi di kamar mandi umum. Tubuhnya bersabun di bawah tatapan orang banyak, dan ia tampak... puas?
Aku menghampirinya, meminta izin meminjam kamar mandinya barang sebentar. Tapi ia hanya melangkah pergi, tanpa menoleh, seperti aku adalah gema yang gagal kembali. Suaraku hanya gema bisu di dunia yang memilih membisu.
Tiba-tiba, aku telah berada di atas sepeda, membonceng pasanganku yang wajahnya ceria serta terasa hangat di hati. Kami menyusuri jalan pulang, namun jalan itu berubah, aspal yang biasa kulewati kini tertutup semak, rumput liar, dan ilalang setinggi betis. Jalan raya menjadi hutan kecil yang tumbuh dari penyangkalan.
Kami terus mengayuh, menembus belukar yang mencakar kaki, mengusap wajah. Pasanganku turun dan memilih berjalan kaki, meninggalkanku dengan sepeda yang mulai sulit digerakkan. Tapi di antara semak-semak itu, kulihat lintasan samar, jalan setapak yang telah dibuka oleh kaki-kaki terdahulu. Jejak para pelintas senyap yang tak aku kenal, tapi kuterima bantuannya.
Dengan mengikuti jejak itu, kami sampai di rumah. Rumahku.
Di sana, cahaya tak lagi menyusut. Keluargaku menyambut dengan senyum dan tangan terbuka. Di antara mereka, kulihat pamanku dari seberang, dengan wajah yang membawa aroma jauh dan suara-suara kampung halaman.
Pasanganku menyalami satu per satu anggota keluargaku. Tapi ketika sampai ke pamanku... ia melewatkannya begitu saja. Tak ada jabatan tangan. Tak ada sapa. Mungkin ia lupa. Atau mungkin ia tak mengenalinya. Atau mungkin, sebagian dari diriku, yang tersembunyi dalam figur paman itu---masih terlalu asing untuk ia sentuh.
Dan aku hanya berdiri di situ, bertanya-tanya: apakah aku sudah pulang? Atau baru saja masuk ke rumah yang sebenarnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar