Minggu, 03 Agustus 2025

Happy Odyssey, Kisah Nyata Prajurit Yang Menikmati Perang

 



Di antara sekian banyak memoar perang yang penuh dengan ratapan, trauma, dan kengerian, muncul sebuah karya klasik yang menentang narasi tersebut dengan cara paling jujur dan mengejutkan. "Happy Odyssey", otobiografi Letnan Jenderal Sir Adrian Carton de Wiart, pertama kali diterbitkan oleh Jonathan Cape pada tahun 1950. Berkat popularitasnya yang abadi, buku ini telah dicetak ulang beberapa kali, dengan salah satu edisi modern yang paling dikenal diterbitkan oleh Pen & Sword Books pada tahun 2007. 


Memoar ini luar biasa bukan karena penderitaan yang diceritakan, melainkan karena penulisnya, seorang prajurit yang ditembak di wajah, kepala, perut, pergelangan kaki, kaki, pinggul, dan telinga, yang kehilangan mata kirinya dan tangan kirinya, justru menganggap seluruh pengalamannya itu sebagai sebuah petualangan yang membahagiakan. Judulnya bukanlah sebuah ironi, tetapi cerminan sejati dari semangat seorang pria yang menemukan kehidupannya di tengah kekacauan perang.


Petualang Perang


"Happy Odyssey" membawa pembaca dalam perjalanan hidup Adrian Carton de Wiart yang membentang dari kelahirannya di Belgia hingga pengabdiannya yang panjang bagi Kerajaan Inggris. Kisahnya dimulai dengan hasratnya yang tak terbendung untuk berpetualang, yang mendorongnya meninggalkan bangku kuliah di Oxford untuk bergabung dengan Angkatan Darat Inggris dan bertempur dalam Perang Boer Kedua. Di sanalah ia pertama kali merasakan kerasnya pertempuran dan menderita luka-luka serius pertamanya, sebuah pola yang akan terus berulang sepanjang kariernya.


Narasi kemudian berlanjut ke kancah Perang Dunia Pertama, di mana Carton de Wiart benar-benar menorehkan legendanya. Ia bertempur di garis depan Somme, Ypres, dan Passchendaele, beberapa medan perang paling mematikan dalam sejarah manusia. Dengan gaya penceritaan yang sangat bersahaja, ia mendeskripsikan momen ketika ia kehilangan matanya dan kemudian tangannya. Alih-alih mengeluh, ia justru menceritakannya seolah-olah itu adalah ketidaknyamanan kecil yang harus diatasi agar bisa segera kembali ke medan laga. Ketangguhan dan keberaniannya yang luar biasa membuatnya dianugerahi Victoria Cross, penghargaan militer tertinggi di Inggris.


Setelah Perang Dunia Pertama, petualangannya tidak berhenti. Buku ini merinci waktunya yang penuh gejolak sebagai kepala Misi Militer Inggris di Polandia selama Perang Polandia-Soviet, di mana ia kembali berada di tengah konflik sengit. Saat Perang Dunia Kedua meletus, usianya yang sudah tidak lagi muda tidak menghalanginya untuk kembali bertugas. Ia memimpin kampanye naas di Norwegia, ditangkap dan menjadi tawanan perang di Italia, sempat melarikan diri dengan gagah berani, sebelum akhirnya ditugaskan oleh Winston Churchill sebagai perwakilan pribadinya untuk Chiang Kai-shek di Tiongkok. Setiap babak dalam hidupnya adalah episode baru yang penuh dengan bahaya, intrik, dan aksi yang diceritakan dengan semangat yang tak pernah padam.


Wawasan Sejarah Sudut Pandang Saksi Mata


Kekuatan terbesar dari "Happy Odyssey" terletak pada suara naratornya yang unik. Carton de Wiart menulis dengan gaya yang sangat lugas, tanpa dramatisasi, dan dibumbui humor kering yang tajam. Ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang hampir merenggut nyawanya dengan ketenangan yang hampir tidak masuk akal. Kalimatnya yang paling terkenal, "Sejujurnya, saya menikmati perang," bukanlah bualan, melainkan inti dari filosofi hidupnya. Analisis terhadap buku ini menunjukkan bahwa bagi Carton de Wiart, perang menawarkan kejelasan dan tujuan yang tidak ia temukan dalam kehidupan sipil yang damai. Dunia perang yang hitam-putih, di mana keberanian dan tindakan adalah segalanya, merupakan habitat alaminya.


Buku ini bukan sekadar catatan pertempuran, tetapi juga sebuah studi karakter yang mendalam tentang seorang pria dari zaman yang berbeda. Ia adalah perwujudan dari arketipe perwira aristokrat Inggris: tabah, tidak banyak mengeluh, dan memegang teguh kehormatan. Gaya penulisannya yang minimalis justru memperkuat dampak dari peristiwa yang diceritakannya. Ketika ia menggambarkan bagaimana ia mencabut sendiri jari-jarinya yang hancur karena dokter menolak mengamputasinya, pembaca tidak disuguhi deskripsi grafis yang mengerikan, melainkan pernyataan fakta yang dingin. Kontras antara kengerian situasi dan ketenangan narator inilah yang membuat "Happy Odyssey" begitu memikat dan tak terlupakan.


Selain itu, memoar ini memberikan wawasan sejarah yang berharga dari sudut pandang seorang saksi mata. Ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting abad ke-20 seperti Winston Churchill dan Chiang Kai-shek, memberikan anekdot dan pengamatan pribadi yang tidak akan ditemukan dalam buku teks sejarah. Namun, fokusnya tidak pernah bergeser terlalu jauh dari pengalamannya sendiri. "Happy Odyssey" pada dasarnya adalah kisah tentang hubungan seorang pria dengan takdirnya. Ia tidak melawan nasibnya yang penuh kekerasan; ia justru menyambutnya dengan tangan terbuka.


Sebagai kesimpulan, "Happy Odyssey" adalah sebuah karya klasik yang wajib dibaca, tidak hanya bagi para penggemar sejarah militer, tetapi juga bagi siapa pun yang tertarik pada kisah luar biasa tentang ketahanan manusia. Buku ini adalah testimoni kuat tentang bagaimana sikap dan perspektif dapat mengubah perjalanan hidup yang penuh penderitaan menjadi sebuah petualangan yang membahagiakan. Ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan dapat ditemukan di tempat-tempat yang paling tidak terduga, bahkan di tengah desingan peluru dan ledakan bom, bagi mereka yang cukup berani untuk mencarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

6 Mainan Jadul 90an yang Hits, Penuhi Inner Child Yuk!

Kenangan bahagia ketika kecil pada tahun 90an selalu memunculkan senyum tersendiri. Apalagi, bagi Anda yang pada zaman itu mempunyai banyak...