Di kota Somnia, malam tak lagi membawa penghiburan. Selama berbulan-bulan, mimpi buruk telah menjangkiti penduduknya seperti wabah yang tak dapat dijelaskan. Ini bukan mimpi buruk biasa; mereka yang mengalaminya terbangun dengan napas terengah-engah, basah kuyup oleh keringat, dan, dalam beberapa kasus, tidak dapat mengingat siapa mereka atau apa yang telah menghantui mereka. Efeknya menjadi nyata pada siang hari, wajah-wajah pucat, tatapan kosong, dan keheningan yang menindas yang menyelimuti kota seperti awan badai.
Kiran bukanlah pahlawan dalam pengertian tradisional. Ia tidak memiliki garis keturunan yang termasyhur, tidak ada ramalan kuno yang meramalkan kebangkitannya. Menurut pengakuannya sendiri, ia hanyalah "seorang penjelajah peta jiwa." Sejak masa mudanya, Kiran telah menemukan bahwa ia dapat memasuki mimpi orang lain. Ia tidak memahami mekanisme bakatnya atau mengapa bakat itu memilihnya, tetapi seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menjelajahi dunia aneh itu dan membantu mereka yang terperangkap di dalamnya.
Biasanya, mimpi buruklah yang menghampirinya. Melodi samar yang tak dapat didengar orang lain, sekilas bayangan di pantulan jendela, atau aroma sesuatu yang familier yang menuntunnya ke pintu seorang pemimpi yang tersiksa. Malam itu, teriakan samar menuntunnya ke reruntuhan bangunan rumah petak tua. Di dalam, ia menemukan seorang pria bernama Victor, yang sudah berminggu-minggu tidak tidur nyenyak.
Kiran meletakkan tangannya di dahi Victor, memejamkan mata, dan merasakan dirinya berputar ke bawah, seolah ditarik oleh benang tak kasat mata. Ia mendarat di tanah tandus di bawah langit yang dipenuhi abu. Pohon-pohon yang bengkok dan kurus mencakar langit, dan di kejauhan, sosok aneh dengan mata merah menyala menjulang di atas Victor, yang meringkuk di kakinya.
"Kau tidak pantas dimaafkan," geram makhluk itu, suaranya seperti batu gerinda.
Kiran mengenali sosok itu apa adanya: perwujudan rasa bersalah Victor. Mendekati dengan hati-hati, ia berbicara kepada Victor, mendesaknya untuk menghadapi rasa takutnya. Perlahan, dengan terbata-bata, pria itu mengakui pengkhianatan yang telah membebani dirinya selama bertahun-tahun. Makhluk itu hancur menjadi debu, dan lanskap tandus mulai menghilang dalam cahaya.
Ketika Victor terbangun, ia menangis bukan karena sedih, melainkan karena lega. Namun Kiran menyadari sesuatu yang meresahkan: sebuah bayangan masih berkeliaran di sudut ruangan, samar namun terus ada. Seolah-olah mimpi buruk itu belum sepenuhnya lepas dari cengkeramannya, akarnya menjulur melampaui pikiran Victor.
Kasus Lía
Beberapa hari kemudian, Kiran merasakan tarikan mimpi lain yang lebih kuat daripada yang pernah dialaminya sebelumnya. Kali ini, mimpi itu membawanya ke rumah seorang gadis berusia sepuluh tahun bernama Lía. Orangtua gadis itu menjelaskan bahwa gadis itu telah tertidur lelap selama berminggu-minggu, dan tidak dapat bangun. Para dokter bingung, tetapi Kiran mengerti: ini bukan tidur biasa.
Ketika ia memasuki mimpi Lía, ia mendapati dirinya berada dalam labirin bayangan yang tak berujung. Dindingnya terbuat dari kabut tebal yang bergerak-gerak, dan setiap jalan yang ia lalui berputar kembali ke awal. Dari tengah labirin, ia dapat mendengar teriakan samar Lía.
“Tolong aku! Aku tidak bisa keluar!”
Saat ia bergerak lebih dalam, Kiran menyadari bahwa ia tidak sendirian. Sosok tinggi tanpa wajah berdiri di ujung penglihatannya, mengawasi. Tidak seperti manifestasi yang biasa ditemuinya, kehadiran ini adalah sesuatu yang kuno dan kuat yang memakan rasa takut dan putus asa.
Kiran mulai menyusun kebenaran yang lebih besar: mimpi buruk yang mengganggu Somnia saling terkait, seperti cabang-cabang pohon yang sama. Setiap mimpi yang dialaminya mengungkap fragmen-fragmen dari pola yang sama: bencana yang terlupakan, trauma kolektif yang terkubur dalam di alam bawah sadar kota.
Melalui penyelidikannya di dunia nyata, Kiran menemukan catatan kebakaran dahsyat yang melanda Somnia beberapa dekade lalu. Ratusan orang tewas, dan para penyintas menanggung rasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkan tetangga mereka. Meskipun kota itu telah membangun kembali dirinya sendiri, luka-luka emosional itu tidak pernah benar-benar sembuh, malah membusuk di alam bawah sadar bersama penduduknya.
Kiran tahu bahwa untuk membebaskan Lía dan kota itu, ia harus menghadapi inti ketakutan. Ia kembali ke mimpi Lía, lebih siap dari sebelumnya. Di tengah labirin, ia menemukan entitas tak berwajah menunggunya.
"Kau tak bisa menghancurkanku," bisiknya, suaranya seperti paduan suara kesedihan. "Aku adalah cerminan dari semua yang mereka takuti."
Namun Kiran tidak berniat menghancurkannya. Sebaliknya, ia berlutut di hadapan sosok itu, mengakui rasa sakit yang terkandung di dalamnya. Ia merangkul kegelapan, menerimanya sebagai bagian dari kondisi manusia. Perlahan-lahan, entitas itu mulai menghilang, dan labirin itu pun berubah menjadi cahaya.
Ketika Lía terbangun, seluruh kota tampak menghela napas lega. Mimpi buruk itu memudar, meskipun tidak sepenuhnya hilang. Sebaliknya, penduduk Somnia mulai menghadapi ketakutan mereka alih-alih menguburnya.
Kiran melanjutkan pekerjaannya sebagai penjelajah mimpi, menyadari akan selalu ada ketakutan yang harus dihadapi dan kebenaran yang harus diungkap. Namun pengalamannya di Somnia memberinya pelajaran penting: mimpi buruk bukanlah musuh kita. Mimpi buruk adalah pemandu, yang menuntun kita ke bagian diri kita yang paling membutuhkan penyembuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar