Di sebuah warung kopi kecil di sudut kota, Riko sedang duduk termenung, menatap kosong ke layar ponselnya. Status WhatsApp-nya berbunyi: "Aku gak layak dicintai." Beberapa teman membalas dengan stiker nangis, ada juga yang hanya meninggalkan emoji hati.
"Kenapa, Rik? Ditolak lagi?" tanya Budi, sahabatnya yang sedang menyeruput es teh jumbo.
Erik menghela napas panjang. "Bukan. Aku cuma merasa... ya gitu deh. Kayak gak ada yang benar-benar suka sama aku."
Budi mengangguk bijak, lalu tanpa aba-aba, ia berteriak ke ibu warung, "Bu, nasi goreng satu!"
Erik mengerutkan kening. "Lho, gue curhat malah lu pesan makan?"
Budi menepuk bahu Riko. "Sabar. Nih, dengerin. Cinta itu kayak nasi goreng."
Erik semakin bingung. "Maksudnya?"
"Kadang ada yang suka pakai telur, ada yang suka pakai sosis, ada yang nggak suka kecap, ada yang suka pedas banget. Tapi tetap aja, nasi goreng selalu ada yang suka! Nggak pernah tuh ada berita 'nasi goreng nggak laku di dunia'!"
Erik terdiam. Budi melanjutkan, "Sama kayak lo. Mungkin ada orang yang nggak suka lo karena lo nggak setajir Sultan Andara atau nggak sekeren aktor Korea. Tapi pasti ada yang suka lo apa adanya. Kayak nasi goreng polos yang tetap laku di warung tenda."
Tiba-tiba, ibu warung datang dengan sepiring nasi goreng yang aromanya menggoda. "Nah, makan dulu! Orang lapar tuh gampang baper," kata ibu warung sambil tersenyum.
Erik mendadak tercerahkan. "Jadi maksud lo, gue tetap layak dicintai, meskipun... ya begini adanya?"
Budi mengangguk sambil mengunyah. "Iya, bro! Lo gak perlu jadi yang paling enak sedunia, yang penting ada yang doyan. Dan percaya deh, di dunia ini selalu ada yang doyan sama lo!"
Mendengar itu, Erik tersenyum dan mulai menyuap nasi gorengnya. Di dalam hati, ia berjanji untuk tidak lagi meragukan dirinya sendiri. Karena ternyata, kalau nasi goreng aja selalu ada yang suka, apalagi dia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar