Azhar Kinoi Lubis kembali dengan Petaka Gunung Gede, sebuah film horor yang berambisi menyajikan teror di alam terbuka. Namun, apakah film ini benar-benar menakutkan, atau justru jatuh dalam jebakan klise horor Indonesia yang terlalu bergantung pada jumpscare?
Drama vs. Horor: Mana yang Lebih Kuat?
Sejak awal, Petaka Gunung Gede terlihat memiliki potensi besar jika lebih menekankan drama daripada horor. Film ini mencoba mengangkat kisah persahabatan Maya dan Ita dalam perjalanan mendaki gunung, dengan latar belakang yang seharusnya emosional. Namun, alih-alih memperkuat hubungan karakter, film ini lebih sibuk menghadirkan jumpscare repetitif yang terasa dipaksakan.
Padahal, ada konflik menarik yang bisa dieksplorasi lebih dalam---tentang kondisi fisik dan mental pendaki saat menghadapi tantangan ekstrem. Namun, keputusan karakter dalam film ini sering kali terasa tidak masuk akal. Mereka digambarkan sebagai pendaki berpengalaman, tapi justru bertindak bodoh dan keras kepala, seolah tidak memahami bahaya nyata yang mengintai.
Eksekusi Horor yang Terburu-buru
Jika bicara soal horor, Petaka Gunung Gede sayangnya tidak menawarkan sesuatu yang baru. Teror yang seharusnya membangun ketegangan malah terasa repetitif, dengan kemunculan sosok dedemit yang lebih berfungsi sebagai "pemanis" tanpa eksplorasi lebih lanjut. Bahkan plot twist di akhir terasa klise, tidak memberikan dampak emosional yang kuat karena kurangnya buildup cerita yang solid.
Selain itu, penyelesaian misteri di film ini terasa dipercepat. Sepuluh menit terakhir yang seharusnya menjadi klimaks malah terasa terburu-buru, seolah film ini ingin segera selesai tanpa memberikan ruang bagi penonton untuk benar-benar meresapi ketegangannya.
Visual Menawan, Musik Kurang Mengangkat Suasana
Salah satu aspek yang cukup mencuri perhatian dalam Petaka Gunung Gede adalah sinematografinya. Pemandangan gunung yang dihadirkan mampu memberikan kesan megah dan menyegarkan mata. Namun, sayangnya aspek ini tidak didukung dengan scoring yang kuat. Musik yang digunakan dalam adegan-adegan emosional justru terasa kurang membangun suasana, membuat momen-momen yang seharusnya menguras emosi terasa datar.
Pilihan lagu Sebuah Kisah Klasik dari Sheila on 7 yang digunakan sebagai penutup sebenarnya cukup menyentuh, tetapi ironisnya, mungkin itulah satu-satunya bagian yang benar-benar berkesan dari film ini.
Kesimpulan: Film yang Kehilangan Arah
Dengan segala kekurangannya, Petaka Gunung Gede berakhir sebagai film yang kehilangan fokus. Judulnya seolah menjanjikan sebuah tragedi mengerikan di gunung, tetapi cerita yang disajikan lebih banyak berkutat pada drama yang kurang matang dan horor yang tidak efektif.
Meskipun ada sedikit harapan dari chemistry antara karakter utama, serta visual yang cukup memanjakan mata, eksekusi film ini masih jauh dari kata memuaskan. Seandainya lebih berani menggali sisi psikologis para pendaki dan membangun cerita yang lebih solid, Petaka Gunung Gede bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar horor template yang mudah dilupakan.
Istirahat dalam damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar