Senja merayap pelan di bawah langit kota ini, berarak membakar warna jingga, dalam luas nan megahnya. Bagai kanvas raksasa yang dilukis dengan arang dan bara, dalam simpanan luka-luka lama di relung hati. Cahaya terakhirnya hari itu menetes pelan di ujung ubin trotoar yang dingin, di antara riuhnya gerak kota yang tak pernah tidur, menyapa setiap insan.
Itulah yang ada di pikiran Anjani yang memikul beban cerita dalam kesepian yang tak pernah benar-benar pulih. Luka yang terjadi padanya, yang membawanya berdiri membeku terpaku di titik ini, tempat di mana segala arah seolah berawal, atau mungkin telah berakhir. Tepatnya persis di jantung kota yang menyimpan ribuan cerita tak berkata dalam diam, tentangnya.
Sejuta kenangan pun menjadi saksi berlabuhnya kerikil dan debu yang beterbangan, yang tersusun bagai museum pribadi yang terlihat kekal bersemayam di hati. Mengiringi alunan melodi yang dulu mereka dengar bersama. Semuanya terasa begitu kuat, dekat, dan kukuh seakan tak tegoyahkan, bagai dunia hanya mereka berdua dalam keabadiannya.
Di mana begitu pandai dan terampilnya sang kekasih menyulam setiap asa, di antara kata-kata manis nan indah yang menawarkan masa depan selalu cerah, seolah segalanya bisa diatur sesuai keinginannya. Dalam mimpi selamanya setia yang ia ciptakan sebagai tempat tumbuh segala lukisan berwarna di langit biru yang tak berawan.
Namun tidak dengan kenyataannya, kini tinggal jejak Anjani sendiri. Sebelah saja. Seakan cinta itu memilih untuk pincang. Benang itu telah putus. Sang Kekasih telah mendustainya. Anyaman kerinduan pun yang dulu begitu indah, kini hanya tinggal serpihan rapuh, diterbangkan angin ke segala penjuru.
Di antara rerumputan jalanan, yang dulu hanya saksi bisu tawa, kini berubah menjadi penjaga air mata yang tak terhitung jumlahnya. Karena merekalah yang telah banyak menyaksikan bagaimana kisah kasih yang dulu begitu indah, begitu menjanjikan, namun akhirnya kandas di tengah riuh rendah kota yang tak pernah peduli.
Anjani pun menari di atas puing-puing kekecewaannya yang berserakan, mencoba mencari dan menemukan lagi irama baru untuk menopang jiwanya yang compang-camping. Namun, setiap langkahnya terasa gontai, seolah bumi enggan menopangnya. Jiwanya begitu merana, tenggelam dalam lautan duka yang tak bertepi.
Luka di hatinya menganga, bukan sekadar sayatan, melainkan jurang yang dalam, yang mengikis habis senyum yang dulu selalu merekah sebagai ciri khasnya. Meninggalkan hanya gema janji kosong yang terdengar berulang-ulang, bagai remah-remah masa lalu yang terus menghantuinya. Di setiap hembusan napas yang kini terasa perih, karat duka telah menggerogoti dan mengikis sanubarinya, mengukir guratan keputusasaan di jiwanya.
Hingga muncul tanya di hatinya : "Aku tak pernah tahu, kenapa pertemuan yang indah harus berakhir di jalan yang gaduh," gumamnya lirih kepada dirinya sendiri. Tak ada yang menjawab. Hanya angin yang terus-menerus menepuk-nepuk pundaknya, seperti ibu yang tak ingin anaknya larut dalam kecewa.
Maka, saat keesokan harinya, di langit kota itu, pagi kembali mengguratkan warnanya, meski matahari belum terbit sepenuhnya, Anjani sudah kembali ke titik jalanan itu. Tapi kali ini, ia tak hanya membakar luka, juga bukan sekadar sebagai akhir dari hari kemarin. Terbitnya matahari adalah awal dari hal yang baru, sebagai penanda bangkitnya kemenangan dirinya. Di mana duka yang mendalam ditukar dengan kekuatan yang lebih, yang lahir dari pengenalan akan dirinya sendiri.
Anjani telah bangkit sepenuhnya dan merasakan menjadi bagian dari kota ini, yang tidak hanya sebagai kenangan, melainkan sebagai perempuan yang berdamai dengan segala keadaan. Yang pernah terluka, dan tetap memilih berjalan. Yang pernah mencintai, dan tetap memilih hidup. Karena di tangannya, sudah tidak ada lagi harapan yang minta dikembalikan. Hanya ketenangan, dan seutas tekad yang baru ditenunnya.
Dan pagi ini, untuk pertama kalinya, hidup tak terasa terlalu berat. Ia percaya, bahwa di balik setiap badai, ada pelangi yang menanti. Langit kota ini, yang dulu menjadi saksi bisu cintanya yang patah, kini menjadi tempat ia menemukan makna kehidupan yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar