Leonardo da Vinci, nama yang menggema lintas zaman sebagai simbol kecemerlangan manusia.
Ia pelukis, penemu, arsitek, filsuf, insinyur, dan anatomis; namun yang paling mendalam adalah bahwa ia adalah pelajar seumur hidup.
Di balik karya-karya besar seperti Mona Lisa dan The Last Supper, tersimpan cara berpikir dan hidup yang luar biasa reflektif dan progresif.
Michael J. Gelb, dalam bukunya How to Think Like Leonardo da Vinci, merangkum tujuh prinsip yang membentuk fondasi pola pikir sang jenius.
Bukan sekadar panduan sukses, prinsip-prinsip ini adalah jalan hidup untuk siapa saja yang ingin hidup dengan penuh makna, imajinasi, dan kesadaran.
Dalam tulisan ini, saya mengajak pembaca menelusuri kembali prinsip-prinsip itu---bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai cermin untuk kita refleksikan dalam kehidupan modern yang penuh distraksi dan kelelahan eksistensial.
Leonardo punya rasa ingin tahu yang tak pernah padam.
Leonardo mengajarkan kita menjadi penjelajah keterhubungan---melihat dunia bukan sebagai potongan fakta, tapi sebagai simfoni yang utuh.
Apa yang membuat Leonardo da Vinci tetap relevan setelah lima abad?
Bukan hanya lukisannya, tetapi cara berpikir dan hidupnya yang menyatu antara rasa ingin tahu, pengalaman, pengamatan, penerimaan, kreativitas, kesehatan, dan keterhubungan.
Di zaman di mana kecepatan mengalahkan makna, Leonardo mengajak kita untuk hidup lebih lambat, lebih dalam, dan lebih utuh.
Ia adalah pengingat bahwa jenius bukan soal IQ tinggi, tapi tentang kehadiran total terhadap hidup.
Jika kita bisa menerapkan satu saja dari prinsipnya dalam keseharian, kita bukan sekadar mengenang Leonardo, tapi melanjutkan napasnya dalam diri kita.
Dan mungkin, seperti dia, kita pun bisa meninggalkan jejak abadi, bukan di kanvas atau patung, tapi di cara kita memaknai hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar