Jumat, 18 Juli 2025

Sepeda Kumbang Seribu Kenangan, Warisan Moyang yang Tak Lekang Zaman

 


Kalau ada benda warisan yang tidak tersimpan di lemari kaca atau digantung di dinding rumah, maka sepeda kumbang itulah dia. Bukan karena nilainya tak berharga, tapi karena ia terlalu hidup untuk dijadikan pajangan. Sepeda tua berwarna hitam legam, berstang melengkung seperti tanduk kerbau, dan sadel keras yang bikin bokong pegal seharian, itulah kendaraan masa lalu yang masih menyimpan seribu kenangan dan hikmah.


Sepeda kumbang ini dulu milik Mbah Kakung saya. Beliau petani sekaligus guru ngaji di desa. Setiap sore selepas Asar, beliau mengayuh sepeda kumbangnya ke surau membawa kitab kuning dan tikar. Tak peduli hujan atau panas, sepeda itulah saksi beliau mengajarkan huruf hijaiyah kepada anak-anak kampung.


Waktu kecil, saya sering duduk di bagian tengah rangka, di antara stang dan sadel. Kepala saya terantuk-antuk stang, tapi saya menikmati angin sore yang mengelus wajah dan cerita-cerita mbah tentang hidup, sabar, dan rezeki yang mesti dijemput dengan usaha.


Setelah beliau wafat, sepeda kumbang itu diwariskan ke ayah saya. Kata beliau, "Ini bukan sepeda biasa. Di sini ada doa dan jejak langkah orang yang kita cintai."


Sepeda kumbang bukan alat transportasi cepat. Ia lamban, berat, dan butuh tenaga. Tapi dari sinilah saya belajar makna ketekunan. Dulu, ayah saya mengayuh sepeda ini dari rumah ke pasar, menempuh belasan kilometer setiap subuh. Saat saya tanya, "Kenapa gak beli motor, Yah?" Ayah menjawab, "Naik sepeda itu bikin kita dekat dengan jalan. Kita tahu setiap lubang, tanjakan, dan aroma pagi."


Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan filosofi. Sepeda kumbang tidak hanya mengantar orang ke tempat tujuan, tapi juga mengajarkan untuk memperhatikan proses, bukan sekadar hasil.


Dalam kehidupan modern yang serba instan, sepeda kumbang seolah mengingatkan kita untuk melambat, mengamati, dan menghargai tiap kayuhan sebagai bagian dari perjalanan.


Sepeda ini juga menyimpan romantika masa muda ayah dan ibu. Ibu pernah bercerita bahwa dulu saat baru menikah, mereka berboncengan ke ladang pakai sepeda ini. Di sadel belakang, ibu membawa bakul nasi, dan di keranjang depan, ayah meletakkan cangkul dan termos teh.


Lucunya, saat ban bocor di tengah jalan, mereka justru berhenti, duduk di pematang sawah, dan makan bekal di sana sambil tertawa. Dari sepeda kumbang itu, saya belajar bahwa romantika tak selalu datang dari candle light dinner atau mobil mewah. Kadang cukup dari kayuhan yang pelan, tapi seiring sejalan.


Di era teknologi dan kecanggihan kendaraan listrik seperti sekarang, banyak orang lupa bahwa roda kehidupan pernah digerakkan oleh kayuhan peluh dan semangat. Sepeda kumbang adalah salah satu saksi sejarah perjuangan rakyat kecil: buruh tani, guru desa, pedagang sayur, sampai tukang pos.


Literatur sejarah mencatat bahwa sepeda kumbang (sering disebut juga roadster) buatan Inggris seperti Raleigh, Phillips, dan Humber, masuk ke Indonesia sejak zaman kolonial. Pasca kemerdekaan, sepeda ini menjadi simbol mobilitas sosial. Bahkan, banyak pejabat desa dulu yang merasa bangga jika bisa punya sepeda kumbang lengkap dengan dinamo lampu dan bel klasiknya.


Dalam buku Sepeda: Simbol Perjuangan dan Mobilitas Sosial oleh Ardiansyah M. (2021), dijelaskan bahwa sepeda kumbang juga menjadi "kendaraan demokratis"---karena siapa pun bisa memilikinya, asal rajin menabung atau mewarisinya dari orang tua.


Kini, sepeda kumbang menjadi incaran kolektor. Di beberapa pameran barang antik, harganya bisa mencapai jutaan, tergantung keaslian dan kondisi. Tapi bagi saya, nilai sepeda ini bukan di harga jualnya, melainkan pada nilai-nilai yang ia wariskan: kerja keras, kesetiaan, kesederhanaan, dan koneksi antargenerasi.


Merawat sepeda tua ini pun jadi bentuk cinta pada masa lalu. Setiap kali saya mengelap rangkanya, memompa bannya, dan membetulkan rantainya yang kadang selip, seolah saya sedang menyambung tali silaturahmi dengan Mbah Kakung. Ada rasa haru yang tak bisa dijelaskan saat mendengar suara bel klasiknya nyaring di jalan desa.


Zaman boleh berganti, teknologi boleh melaju, tapi tak semua yang lama harus ditinggalkan. Sepeda kumbang mengajarkan kita pentingnya melestarikan, bukan sekadar mengganti. Dalam dunia yang serba cepat dan digital, kayuhan sepeda tua ini adalah pengingat agar kita sesekali berhenti, menoleh ke belakang, dan menghargai warisan moyang.


Karena di balik sepasang pedal tua itu, ada doa yang tak pernah usang dan jejak kaki yang menuntun kita sampai ke titik hari ini. Jadi, kalau Anda masih punya sepeda kumbang di rumah, jangan buru-buru menjualnya ke tukang loak. Rawatlah. Kayuhlah. Karena ia tak hanya mengantar tubuh, tapi juga membawa kita pulang pada akar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tirai yang Tak Pernah Ditutup

Di sebuah rumah tua yang terus-menerus dihantui senyap, aku berdiri di tengah lorong yang gelap seperti kerongkongan malam. Dindingnya lemb...