Jumat, 15 Agustus 2025

Sebuah Kemewahan Yang Bernama Tempe Goreng Tepung


Di masa kecilku, kampung kami memeluk rawa ratusan hektar seperti anak sulung yang diberkahi. Rawa itu hidup. Bernapas bersama kami. Mengalirkan air, ikan, dan rezeki tanpa diminta. Tidak ada pagar, tidak ada larangan. Hanya batas alamiah yang dipahami oleh mereka yang lahir dan besar di sana.


Setiap pagi, lelaki dewasa turun ke perahu membawa jaring atau pancing. Anak-anak ikut menyusuri pinggiran, menjebak ikan kecil atau menangkap belut yang menyusup ke lumpur. Pulang-pulang tangan kami hitam berbau anyir, tapi senyum kami lebar. Karena malamnya, akan ada ikan bakar di dapur, langsung dari bara kayu yang menyala di belakang rumah.


Di kampung itu, telur bebek bukan barang mewah. Bebek-bebek kami hidup bebas di tepian rawa, makan keong, selarut dengan alam. Setiap hari ada saja telur yang bisa dikumpulkan---direbus begitu saja, dimakan dengan nasi hangat dan sedikit garam, atau diulek menjadi sambal telur dadar. Tak ada rasa kekurangan. Justru kami sering merasa, 'ini terlalu banyak.'


Kalau bebek sudah mulai malas bertelur, tua dan kurus, nasibnya cepat ditentukan: jadi opor bebek. Masakan yang bagi orang kota mungkin mewah, tapi bagi kami adalah rotasi alami dari siklus ternak. Tidak ada kesedihan, hanya rasa syukur. Apalagi jika dihidangkan saat keluarga besar berkumpul, dengan sambal mangga muda dan ketupat daun kelapa yang anyir dan lembut.


Namun, dalam limpahan rezeki dari alam itu, ada satu kemewahan yang jarang sekali hadir di meja kami: tempe goreng tepung.


Ya, hanya tempe. Tapi bukan tempe biasa. Ia hadir dalam bentuk irisan lebar, dibalur adonan tepung berbumbu, digoreng dalam minyak panas sampai kuning keemasan dan renyah di tepi. Harumnya bisa membuat perut berbunyi bahkan sebelum disajikan.


Kenapa mewah? Karena tempe tidak tumbuh di rawa. Tidak bisa ditangkap dengan jaring. Ia harus dibeli. Begitu juga tepung dan minyak goreng. Semua itu hanya bisa didapatkan jika ibu kami berjalan jauh ke pasar kecamatan, menyusuri jalanan tanah sepanjang beberapa kilometer, membawa tas kain dan harapan.


Aku masih ingat, setiap ibu pulang dari pasar dengan plastik berisi tempe, kami anak-anak langsung berebut mencium aroma dari belanjaan itu. Tidak peduli tubuh ibu masih dibasahi peluh, kami akan merengek, "Bu, gorengin sekarang yaa...."


Terkadang ibu hanya bisa tersenyum lelah, dan menjawab, "Nanti sore, tunggu adonan tepungnya siap."


Tempe goreng tepung bukan hanya soal rasa. Ia simbol pengorbanan. Karena untuk menghadirkannya di meja makan, harus ada perjalanan, harus ada pilihan: membeli tempe atau garam, membeli minyak atau gula. Dan ketika ibu tetap memilih tempe goreng untuk kami, itulah bentuk cinta paling sunyi yang tak pernah kami mengerti saat itu.


Kini, setelah hidup di kota dan bisa membeli tempe kapan pun aku mau, aku sering merasa hampa. Sebab, tidak ada lagi perjuangan di balik potongan tempe itu. Tidak ada aroma tanah setelah hujan, tidak ada ibu yang menggendong belanjaan di pundak sambil menahan pegal. Tidak ada rasa syukur sebesar dulu, hanya karena sepotong gorengan.


Kehidupan modern telah membuat kita lupa, bahwa kemewahan sejati bukan soal harga. Tapi soal makna. Dan bagi anak kampung di tepian rawa sepertiku, kemewahan itu bernama: tempe goreng tepung, yang lahir dari peluh dan cinta ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

6 Mainan Jadul 90an yang Hits, Penuhi Inner Child Yuk!

Kenangan bahagia ketika kecil pada tahun 90an selalu memunculkan senyum tersendiri. Apalagi, bagi Anda yang pada zaman itu mempunyai banyak...