Senin, 11 Agustus 2025

Telur Dadar Kelapa Nenek, Rasa yang Tak Pernah Pergi


Telur Dadar Kelapa Nenek, Rasa yang Tak Pernah Pergi


Mungkin sebagian orang menyantap telur dadar sudah biasa. Tapi bagi saya ada kenangan yang masih terngiang jelas di ingatan. Kala itu masih duduk di bangku SD dan tengah mengalami kesulitan ekonomi hingga nyaris untuk makan terasa sulit. Namun di tengah kesulitan tampak wajah nenek yang saat itu selalu punya cara untuk menenangkan cucunya agar mensyukuri segala keadaan. Saya pun berhenti uring-uringan yang tak jelas dan terhipnotis nasihatnya yang menyejukkan.


Kondisi ekonomi yang sedang di bawah titik terendah akibat ulah keluarga. Hal ini yang membuat usaha pertanian orang tua nyaris tak membuahkan hasil. Beras masih ada karena hasil panen sendiri sementara untuk memenuhi lauknya ini yang kadang banyak bersabar. Kadang makan sambal korek saja itu sudah lebih dari cukup sebagai ganjalan perut. Namun, yang ada di dapur hanya sebutir telur yang diambil dari peliharaan ayam nenek.


Kala itu saya masih tak banyak tahu tentang kehidupan. Hanya memandang takjub apa yang dilakukan oleh nenek. Satu telur tapi dapat dinikmati beberapa orang dalam keluarga? Kok bisa? 


Di dapur sederhana dengan kayu bakar sebagai alat masak merupakan cara orang dulu memasak. Meskipun banyak asap tapi kenangan hingga dapur orang tua mengalami renovasi masih meninggalkan sisa kenangan yang tak akan pergi seperti rasa yang bukan hanya lidah tapi juga hati.


Dengan tangan yang sudah mulai keriput, dengan punggung yang mulai bungkuk, nenek mengambil buah kelapa yang jatuh dari pohon, lalu pengupas dan memarutnya. Tak lupa nenek menawarkan air kelapanya untuk diminum. Saya paling suka air kelapanya bila dibanding dengan saudara lainnya. 


Saya temani nenek dan memandangi penuh lekat. Sesekali menengok dapurnya agar kayunya tetap menyalahkan api. Nenek meminta untuk memasukan kayu untuk menghindari meniup jika apinya sudah tak ada, hingga dari baranya yang membuat isi ruangan penuh dengan asap dan mata menjadi pedih. Suara parutan dari kayu seperti suara pengantar harapan. Kemudian, nenek memecahkan satu telur dan mencampurnya dengan parutan kelapa beserta bawang, cabai, garam, dan penyedap. Lalunya mengadunya hingga semua rata.


Rebusan ubi yang matang telah diletakkan di baskom. Kemudian mengambil wajan yang masih menggantung dekat kompor. Dapur ini nenek buat sendiri dari tanah liat. Sementara minyaknya dari kelapa yang nenek buat sendiri. Dari wajan kecil itu adonan telur serta campuran kelapa parut mulai mengeluarkan aroma gurih yang menyebar isi ruangan.


Setelah matang, telur kelapa itu tampak tebal dan neneknya memotongnya cukup untuk semua orang dengan ukuran yang sama. Kata beliau, ada atau tidak ada semua bisa merasakan yang sama untuk kami semua.


Saya masih ingat betul di setiap suapan ada rasa hangat yang tak mampu saya ungkapkan dengan banyak kata. Gurih kepala berpadu lembut dengan telur. Apalagi tambahan cabai dan bawang membuat cita rasa semakin menambah nafsu makan. Namun yang paling lebih terasa adalah cinta dan keikhlasan nenek dalam telur dadar kelapa itu. Menurut nenek, makanan bukan mengenai persoalan mengenyangkan di perut tapi juga mengenyangkan di hati.


Kini beliau telah lama tiada. Setiap mengunjungi dapur yang telah direnovasi  hati ini menjadi sunyi. Meskipun dengan membuat sendiri dengan resep yang sama tapi rasa tak seindah dulu. Muka yang awalnya masam kembali penuh senyuman. Itulah sepenggal kenangan yang membuat banyak belajar dari kehidupan bahwa hal yang berharga juga bisa lahir dari kesederhanaan yang disyukuri. Meskipun mampu membuatnya sendiri tapi rasanya tak seperti buatan nenek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

6 Mainan Jadul 90an yang Hits, Penuhi Inner Child Yuk!

Kenangan bahagia ketika kecil pada tahun 90an selalu memunculkan senyum tersendiri. Apalagi, bagi Anda yang pada zaman itu mempunyai banyak...