Judulnya The Truman Show. Tapi jangan tertipu. Dalam dunia nyata, acara ini seharusnya lebih jujur diberi nama The Fak(e)man Show. Alasannya sederhana: hanya satu orang yang sungguh-sungguh jujur di dalam acara itu---dan ia bahkan tidak tahu sedang ikut acara. Sementara yang lainnya? Aktor. Artifisial. Pembohong profesional bersertifikat. Mereka semua hidup dalam kebohongan, dan menikmatinya sambil dibayar mingguan.
Mari kita luruskan: Truman adalah singkatan dari True-Man. Seorang pria sejati, bukan karena punya otot dada atau suara bariton, tapi karena ia hidup tanpa skrip, tanpa sadar disorot, tanpa akting. Hidupnya benar-benar "live", dalam dua makna: siaran langsung dan kehidupan otentik. Ironisnya, satu-satunya orang yang tidak tahu bahwa hidupnya adalah acara TV, justru menjadi satu-satunya orang yang hidup beneran. Sementara yang tahu, malah sibuk berpura-pura.
Lalu mengapa bukan The Fakman Show? Bayangkan saja. Istri Truman adalah seorang "fakmates"---teman hidup palsu yang bahkan tidak bisa bercinta tanpa menoleh ke kamera sponsor. Sahabatnya? Fakbuddy, siap siaga datang dengan sekoper bir setiap kali Truman mulai bertanya terlalu banyak. Polisi? Faksquad. Anak-anak? Faklings. Bahkan anjingnya pun tampaknya sudah ikut serikat pekerja aktor binatang.
Truman berenang di lautan kebohongan, tapi tetap berenang dengan gaya bebas. Sementara yang lain, sudah tenggelam dalam kepura-puraan, dan berenang dengan gaya berpura-pura tenggelam agar dramanya naik rating. Dan semua ini dikendalikan oleh sang maha-sutradara: Christof, yang namanya juga seperti gabungan antara "Christ" dan "off"---tuhan yang terlalu overacting.
Christof mengaku mencintai Truman. Ia berkata, "Dunia luar itu kejam. Aku menciptakan dunia yang aman untukmu." Pernyataan ini terdengar seperti mantan yang posesif: "Aku bukan mengurungmu, aku cuma melindungimu dari dunia." Padahal, ia bukan mencintai Truman, tapi mencintai kontrol. Truman hanyalah boneka salju dalam bola kaca, dijaga agar tak pernah retak. Sampai akhirnya, si boneka mulai menggoyang-goyang bola kacanya dari dalam.
Dan betapa lucunya ketika Truman akhirnya menabrak langit. Ya, langitnya ternyata palsu. Bukan Tuhan yang turun dari surga, tapi set lighting yang jatuh dari langit. Ia membuka pintu keluar---pintu literal, bukan metaforis---dan pergi. Tak ada musik dramatis. Tak ada standing ovation. Para penonton hanya bertanya: "Ada acara lain gak?"
Tinggalah mereka yang tetap di dalam studio. Aktor, kru, penonton, semua kembali pada dunia yang sepenuhnya palsu, tapi nyaman. Mereka adalah fakmen sejati. Mereka tahu dunia itu palsu, tapi tak peduli. Mereka tahu skripnya, tapi tetap membacanya. Mereka tahu langitnya cat, tapi tetap berdoa menghadapnya.
Dan di sinilah letak satire terbesar: Truman tidak pernah berakting, dan justru karena itu ia bisa keluar dari dunia palsu. Sementara mereka yang hidup dengan sadar sebagai aktor, justru tidak pernah keluar dari panggung. Mereka lupa bagaimana cara hidup tanpa naskah.
Jadi, sekali lagi, ini bukan The Truman Show. Ini The Fakman Show, dengan satu bintang tamu yang tak pernah tahu bahwa dia sedang dibintangi.
Dan sekarang, coba lihat sekelilingmu. Siapa tahu kamu bukan penonton. Siapa tahu kamu juga sedang dibintangi, oleh kamera yang kamu pasang sendiri. Di media sosial, di kantor, di keluarga besar yang terus menilai.
Tapi tenang, kalau kamu masih belum tahu kamu sedang diawasi, mungkin kamu satu-satunya yang sungguh hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar