Generasi Tanpa Kompetisi
SALAH satu fondasi keberlanjutan komunitas, bahkan peradaban, adalah hadirnya sikap kompetitif di tengah-tengah dinamika sosial-budaya mereka.
Sikap kompetitif, atau kontestasi, tidak sekadar menjadi ajang adu kemampuan, melainkan juga ruang bagi setiap individu untuk mengeksplorasi dan mengoptimalkan kapasitas yang dimilikinya demi mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.
Dalam kontestasi inilah seseorang belajar mengenai banyak hal. Bayangkan seseorang yang ingin menjadi pembicara publik yang memukau, ia tidak bisa begitu saja naik ke podium tanpa persiapan.
Terdapat proses panjang yang harus ia jalani, mulai dari melatih pernapasan, mengatur gaya bicara, menguasai intonasi, hingga mendalami materi yang akan disampaikan.
Semua itu harus dipelajari, diasah, dan dilatih secara konsisten agar saat waktunya tiba, ia bisa tampil dengan percaya diri di hadapan publik.
Proses pembelajaran ini hanya mungkin terjadi dalam konteks kontestasi, saat individu dihadapkan pada tantangan dan harapan untuk menjadi yang terbaik.
Secara historis, kita telah lama terdidik dalam budaya kontestasi. Di sekolah, misalnya, kompetisi selalu ada, dan setiap orang memahami posisinya dalam hierarki akademis.
Setiap siswa berusaha menjadi yang terbaik, berusaha "mengalahkan" teman-temannya dalam ujian dan lomba.
Dalam konteks inilah kesadaran kompetisi tumbuh, membentuk mentalitas yang kemudian berlanjut di dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk karier dan kehidupan sosial.
Namun, persoalannya tidak berhenti di situ. Dalam sejarah, organisasi-organisasi kaderisasi telah menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengembangkan keterampilan adaptasi, negosiasi, dan kompetisi yang dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Memang, tidak semua orang harus menjadi pemimpin. Namun setiap orang yang ingin memimpin harus mampu bertahan dari berbagai tekanan, melewati beragam tahapan dengan kesabaran, dan menunjukkan kemampuan yang unggul dibandingkan orang lain
Ketahanan inilah yang kemudian dilihat oleh orang-orang di sekitarnya sebagai modal kuat untuk menjadikannya seorang pemimpin.
Di
sinilah letak pentingnya kaderisasi. Proses kaderisasi bukan sekadar mencetak pemimpin, tetapi juga mempersiapkan generasi selanjutnya dengan pemikiran, gagasan, dan kemampuan kepemimpinan yang relevan dengan tantangan zaman.
Melalui kaderisasi, nilai-nilai dan praktik-praktik baik yang ada dalam komunitas dapat diteruskan. Sebaliknya, hal-hal yang sudah tidak relevan atau tidak
efektif lagi bisa dievaluasi, diperbaiki, atau bahkan digantikan.
Sayangnya, kontestasi yang sehat dan kaderisasi yang ideal semakin terancam di era modern ini. Ruang-ruang
kompetisi semakin menyempit, tergerus oleh elite-elite yang memonopoli kekuasaan dan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dalam kompetisi.
Alih-alih menciptakan ekosistem yang mendukung kaderisasi yang adil, mereka justru memberangus ruang-ruang kontestasi itu, menghalangi kesempatan bagi generasi muda untuk berkompetisi secara sehat.
Fenomena ini membawa dampak mengkhawatirkan. Di kalangan generasi muda, mulai muncul pemahaman bahwa pendidikan tinggi atau kemampuan diri tidak lagi penting.
Yang lebih penting, dalam pandangan mereka, adalah koneksi dan relasi. Pameo seperti "yang penting koneksi, bukan kapasitas" menjadi mantra yang sering terdengar, dan hal ini sangat membahayakan proses estafet kepemimpinan
di masa depan.
Apabila elite-elite yang memegang kendali sosial dan politik terus mempertahankan sikap ini, masa depan bangsa bisa terancam.
Sebuah peradaban tidak bisa hanya dibangun di atas dasar koneksi dan relasi. Ia harus didasarkan pada kontestasi yang adil, di mana setiap individu diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Hanya melalui
kompetisi yang sehat
inilah akan muncul pemimpin-pemimpin otentik dan sejati, yang tidak hanya memimpin berdasarkan hubungan, tetapi karena kualitas dan daya tahan mereka dalam menghadapi tantangan.
Akhirnya, harapan kita adalah para elite yang saat ini mengacak-acak proses kaderisasi menyadari kesalahan mereka.
Mereka harus menyadari bahwa dengan memangkas proses kontestasi, mereka tidak hanya merusak proses regenerasi kepemimpinan, tetapi juga merusak fondasi peradaban itu sendiri.
Keterbukaan terhadap
kompetisi yang sehat harus dipulihkan, agar kita sebagai bangsa bisa kembali tegak berdiri dengan harga diri yang kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar