Sejarah Kerajaan Goguryeo yang Pernah Berdiri di Korea Utara
Goguryeo adalah kerajaan terbesar yang berdiri selama Periode Tiga Kerajaan (Goguryeo, Baekje, Silla) di Korea.
Goguryeo didirikan pada tahun 37 SM oleh Jumong atau Dongmyeong, di wilayah Korea Utara saat ini.
Pada abad ke-5, Goguryeo mencapai kejayaannya setelah Raja Gwanggaeto dan anaknya, Jangsu, memperluas wilayah kekuasaan hingga ke timur laut China sekarang, termasuk Manchuria dan Mongolia, serta sebagian wilayah Korea Selatan.
Saat itu, ibu kota Goguryeo telah dipindahkan ke Pyongyang (kini Korea Utara). Kerajaan Goguryeo runtuh pada tahun 668, setelah ditaklukkan oleh serangan pasukan gabungan Silla dan Dinasti Tang dari China.
Awal berdirinya Goguryeo.
Dalam sejarah Korea, Periode Tiga Kerajaan merujuk pada era ketika Korea terbagi atas tiga kerajaan, yakni Silla, Goguryeo, dan Baekje.
Goguryeo didirikan oleh Jumong pada tahun 37 SM, Silla didirikan lebih dulu pada 57 SM, dan Baekje didirikan pada 18 SM.
Melansir Britannica, Goguryeo didirikan di lembah Sungai Tonggu oleh Jumong, pemimpin salah satu suku Buyeo.
Kini, letak Dinasti Goguryeo tersebut berada di Gungnae, Ji'an, Provinsi Jilin, China, berbatasan dengan Korea Utara.
Penaklukkan demi penaklukkan membuat wilayah Goguryeo semakin luas, membentang dari Sungai Liao hingga bagian tengah Semenanjung Korea.
Di antara tiga kerajaan, Goguryeo merupakan yang terbesar dan yang pertama berdiri kokoh sebagai negara berdaulat.
Raja Taejo, yang memerintah tahun 53 hingga 146, membangun Goguryeo dan mulai memperluas wilayahnya pada akhir abad ke-1.
Raja Taejo tidak hanya melakukan ekspansi wilayah hingga ke China, tetapi juga membangun sistem pemerintahan dan telah menerapkan suksesi kepemimpinan secara turun-temurun.
Masa keemasan Goguryeo
Pada perkembangannya, Goguryeo terus bersaing dengan Baekje dan Silla di Korea Selatan, dan dinasti di China.
Raja Goguryeo ke-9, yakni Gogukcheon (memerintah tahun 179-196), dianggap berjasa menciptakan bentuk pemerintahan terpusat dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terperinci.
Raja memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan.
Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh perdana menteri dan sejumlah pejabat birokrasi. Namun, sejumlah sejarawan menganggap pemerintahan Goguryeo yang benar-benar terpusat baru terjadi pada abad ke-4, tepatnya di era Raja Sosurim (memerintah tahun 371-384), yang mengeluarkan berbagai undang-undang dan dekrit.
Pada masa itu, agama Buddha mulai diperkenalkan dan ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan, bersamaan dengan penyebaran Konfusianisme dan Taoisme.
Wilayah Goguryeo diperluas secara besar-besaran selama pemerintahan Raja Gwanggaeto (memerintah tahun 391–412) dan penerusnya, Raja Jangsu (memerintah 413–491).
Pada masa inilah Goguryeo mencapai masa kejayaannya, bahkan Raja Gwanggaeto dikenal sebagai Gwanggaeto Agung dan dijuluki "Yongnak" atau Kegembiraan Abadi.
Masa keemasan Goguryeo belum pudar pada masa Raja Jangsu, yang memindahkan ibu kota kerajaan dari Gungnae ke Pyongyang di Korea Utara, pada tahun 427.
Saat itu, Goguryeo mempertahankan hubungan diplomatik dengan China, dan telah menguasai 90 persen wilayah Korea, setelah menyerang ibu kota Baekje dan mengeksekusi rajanya.
Meski kerap berselisih, Goguryeo dan China merupakan mitra dagang yang menguntungkan selama berabad-abad.
Goguryeo mengekspor emas, perak, mutiara, dan tekstil, yang ditukar senjata, sutra, dan alat tulis dari China.
Dua pihak juga aktif terlibat pertukaran budaya. Goguryeo mengadopsi sistem penulisan dan syair China, koin wuzhu (oshuchon), elemen arsitektur (terutama berkaitan dengan makam), dan motif seni (seperti rasi bintang yang dilukis di langit-langit dan gambar hewan).
Pada gilirannya, Goguryeo memberikan pengaruh budaya terhadap Baekje, Silla, dan Gaya, bahkan hingga ke Jepang.
Warisan budaya yang amat kaya dari Goguryeo diwariskan ke Silla Bersatu (676-935) dan Balhae (698-926), yang membentuk kebudayaan Korea modern. Warisan budaya Goguryeo yang kaya, paling terlihat dalam seni dan arsitektur makam kerajaan.
Runtuhnya Goguryeo
Pada awal abad ke-7, Goguryeo sibuk menyerang Dinasti Sui di utara, dan Kerajaan Silla di selatan. Menjelang pertengahan abad ke-7, Goguryeo digempur habis-habisan oleh Dinasti Tang.
Pada tahun 644, pasukan Goguryeo mengalahkan gabungan pasukan darat dan laut Dinasti Tang.
Jenderal Gorguryeo yang terkenal, Yang Manchun, berhasil bertahan di Benteng Anshi meskipun dikepung selama tiga bulan. Tidak menyerah, Dinasti Tang melancarkan tiga kali serangan dalam dekade berikutnya, tetapi semuanya gagal.
Pada tahun 661, ketika Dinast Tang kembali mengepung, Goguryeo tengah dilemahkan oleh masalah internal akibat perebutan kekuasaan.
Kendati demikian, Dinasti Tang masih bisa dipaksa untuk mundur.
Pada tahun 668,setelah dikepung Dinasti Tang selama satu tahun, Goguryeo akhirnya runtuh.
Raja terakhir Goguryeo, Bojang (memerintah tahun 642-668) dibawa ke China bersama 200.000 rakyatnya.
Setelah itu, wilayah Baekje dan Goguryeo menjadi provinsi China, sedangkan Dinasti Silla Bersatu mendominasi Semenanjung Korea selama tiga abad berikutnya (668–935).
Kini, beberapa peninggalan arkeologi dari era Goguryeo seperti tembok, makam, dan benteng dapat ditemukan di Tonggou, Fushun, dan Pyongyang, Korea Utara.
Bekas ibu kota pertama Goguryeo di Gungnae, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Jilin di China, telah ditetapkan sebagai situs Warisan DuniaUNESCO pada tahun 2004.
Awesome.....
BalasHapus