Pernah mencium wangi bakpia hangat saat jalan-jalan di Malioboro? Atau membawa pulang satu kotak isi sepuluh sebagai oleh-oleh untuk keluarga? Bakpia memang bukan sekadar camilan biasa. Di balik kelezatan sederhana kue manis berisi kacang hijau ini, tersimpan kisah panjang tentang perjalanan budaya dari negeri Tiongkok hingga akhirnya menjadi ikon kuliner Yogyakarta yang tak tergantikan.
Siapa sangka, bakpia yang kini identik dengan Jogja ternyata berasal dari Tiongkok dengan nama asli "lu dou bing" atau "touk lu pia" yang artinya kue kacang hijau. Bahkan konon bakpia terinspirasi dari kue bulan yang terkenal itu. Bedanya, bakpia asli Tiongkok menggunakan isian daging babi, bukan kacang hijau seperti yang kita kenal sekarang. Bakpia mulai dikenal di Yogyakarta sekitar tahun 1940-an berkat seorang pedagang Tionghoa bernama Kwik Sun Kwok dari Wonogiri. Dia memulai usaha dengan menyewa tempat di Kampung Suryowijayan, Mantrijeron. Cara jualannya pun sederhana, berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan kue buatannya.
Perkembangan bakpia di Yogyakarta mencatat dua jalur. Ketika Kwik Sun Kwok pindah tempat, Niti Gurnito, seorang warga lokal, melanjutkan produksi bakpia di lokasi yang ditinggalkan. Dari sinilah lahir Bakpia Tamansari yang kemudian berkembang hingga ke Prambanan, Sleman, dan Bantul.
Sementara itu, Liem Bok Sing, seorang pedagang arang dari Dagen, juga mulai tertarik dengan bisnis bakpia setelah berinteraksi dengan Kwik Sun Kwok. Pada 1948, dia mulai usaha sendiri dan tahun 1955 memindahkan usahanya ke daerah Pathuk dengan nama Bakpia Pathuk 75. Daerah Pathuk inilah yang kemudian menjadi pusat industri bakpia dengan banyak warga yang ikut terjun ke bisnis serupa.
Kesuksesan kedua merek ini membuktikan betapa baiknya penerimaan masyarakat lokal terhadap bakpia. Seiring berjalannya waktu, bakpia terus berkembang. Kemasan yang dulunya cuma pakai koran atau besek bambu kini berganti kotak karton yang lebih menarik. Variasi rasanya pun makin beragam, dari yang awalnya hanya kacang hijau, sekarang ada cokelat, keju, ubi ungu, bahkan durian.
Jenis-Jenis Bakpia yang Berkembang
Bakpia khas Jogja ternyata punya dua jenis utama. Pertama, bakpia basah yang teksturnya lembut dan halus karena proses pembuatannya menggunakan lebih banyak air atau minyak. Sayangnya, bakpia jenis ini cuma tahan 4-5 hari karena mudah berjamur.
Kedua, bakpia kering yang teksturnya lebih renyah dan tahan lebih lama, sekitar 10-15 hari. Proses pemanggangan bakpia kering membutuhkan waktu lebih lama dengan api yang lebih besar.
Inovasi terbaru yang menarik adalah bakpia kukus. Bakpia Kukus Tugu Jogja menjadi pelopor bakpia kukus pertama di Yogyakarta dengan memadukan konsep tradisional dan modern. Bentuknya tidak pipih seperti bakpia biasa, tapi lebih membulat dengan pilihan isian yang variatif.
Kunci Keberhasilan: Adaptasi Budaya
Rahasia utama kesuksesan bakpia di Indonesia terletak pada kemampuan adaptasinya yang luar biasa. Perubahan paling penting adalah penggantian isian daging babi dengan kacang hijau, serta penggunaan minyak nabati menggantikan lemak babi. Perubahan ini memungkinkan bakpia diterima mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Bakpia menjadi makanan yang inklusif dan sesuai dengan norma lokal. Kepintaran dalam menyesuaikan diri dengan budaya setempat inilah yang membuat bakpia cepat diterima sebagai bagian dari kuliner lokal.
Selain adaptasi bahan, inovasi rasa yang terus berlanjut juga penting untuk menjaga daya tarik bakpia. Para produsen tidak pernah berhenti berkreasi menghadirkan varian baru untuk memenuhi selera konsumen yang makin beragam. Keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan merangkul inovasi menjadi kunci kelangsungan bakpia jangka panjang.
Keberadaan bakpia tidak hanya memperkaya kuliner Yogyakarta, tetapi juga memberikan dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Industri bakpia telah menjadi penggerak utama sektor UMKM dengan membuka lapangan kerja bagi ratusan warga, mulai dari produksi sampai distribusi. Daerah Pathuk menjadi contoh nyata bagaimana bakpia mengubah perekonomian kawasan.
Wilayah ini berkembang menjadi sentra oleh-oleh dengan ratusan toko dan pabrik rumahan yang menyerap tenaga kerja lokal. Tidak hanya memberikan penghasilan, industri bakpia juga meningkatkan keterampilan kewirausahaan generasi muda. Sektor pariwisata turut merasakan manfaatnya. Wisatawan tidak hanya membeli bakpia sebagai oleh-oleh, tetapi juga tertarik melihat langsung proses pembuatannya sebagai bagian dari wisata kuliner.
Strategi Pelestarian di Era Modern
Agar bakpia tetap relevan di tengah arus globalisasi kuliner, diperlukan strategi pelestarian yang tepat. Digitalisasi UMKM bakpia melalui pemasaran online via e-commerce dan media sosial seperti Instagram atau TikTok menjadi langkah penting. Sertifikasi halal, pelabelan gizi, dan inovasi kemasan juga krusial untuk menarik konsumen muda yang lebih sadar kesehatan.
Promosi budaya melalui event kuliner atau kolaborasi dengan sektor pariwisata dapat memperluas jangkauan bakpia di tingkat nasional maupun internasional. Pelibatan generasi muda dalam pelestarian melalui edukasi dan inkubasi bisnis terbukti efektif menjaga keberlanjutan produk lokal.
Bakpia adalah bukti nyata bagaimana semangat kewirausahaan dapat menjadi jembatan budaya. Para imigran Tionghoa seperti Kwik Sun Kwok dan Liem Bok Sing tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga berperan dalam penyebaran budaya. Mereka bersedia beradaptasi dan berbagi pengetahuan kuliner, mengubah makanan etnis menjadi makanan lokal yang diterima luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar