Mimpi Hijau yang Membusuk dari Dalam
Film dokumenter "Kutukan Nikel" adalah alarm keras dan gamblang bagi siapa saja yang masih percaya bahwa transisi energi bersih selalu identik dengan kebaikan.
Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, kendaraan listrik dan baterai menjadi simbol masa depan. Namun, siapa sangka, bahan utama dari simbol ini-nikel-justru menyisakan luka ekologis dan sosial yang dalam di tanah tempat ia ditambang.
Indonesia, sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, memainkan peran sentral dalam ekosistem global kendaraan listrik. Tetapi film dokumenter "Kutukan Nikel", yang merupakan kelanjutan dari The Bloody Nickel, secara berani membongkar sisi gelap dari ledakan industri ini: bagaimana nikel yang seharusnya menjadi berkah, justru menjelma menjadi kutukan bagi masyarakat lokal, khususnya di Indonesia Timur.
Pemerintah Indonesia gencar mendorong hilirisasi nikel sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam. Langkah ini digadang sebagai pintu masuk menuju "kemandirian energi hijau". Namun, seperti ditunjukkan dalam film dokumenter tersebut dan didukung data Greenpeace Indonesia serta Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mimpi itu tidak dirasakan oleh semua pihak.
Menurut data Greenpeace, lebih dari 300 izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan di wilayah timur Indonesia, dengan luas lahan mencapai 3,95 juta hektare, setara hampir 60 kali luas Jakarta. Proyek-proyek tambang ini tidak hanya merusak hutan dan kawasan konservasi, tetapi juga menggerus ruang hidup masyarakat adat, seperti di Halmahera, Maluku Utara.
Bencana ekologis juga semakin nyata. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa 28 pulau kecil telah tenggelam sejak 2011, dan 24 lainnya terancam hilang. Dampaknya tak hanya menyasar ekosistem, tetapi juga nelayan tradisional dan petani kecil yang mengandalkan darat dan laut untuk hidup.
Kasus meledaknya tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, menjadi titik krusial dalam narasi dokumenter ini. Puluhan pekerja tewas-dan mereka bukanlah tokoh fiktif, tapi manusia nyata yang menggadaikan keselamatannya demi upah di tengah kesenjangan ekonomi.
Kecelakaan kerja, pelecehan terhadap buruh, dan pelanggaran hak-hak dasar menjadi elemen kronis yang terus berulang di kawasan industri smelter. Sejumlah laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International juga memperkuat dugaan bahwa keselamatan dan hak buruh dalam industri nikel di Indonesia sangat memprihatinkan.
Kendaraan listrik telah menjadi simbol revolusi hijau. Namun, film ini membongkar ilusi transisi energi bersih yang selama ini dipromosikan pemerintah dan industri global. Nikel, bahan baku utama baterai kendaraan listrik, justru mengotori lingkungan dan merampas hak masyarakat.
Hema Situmorang dari Jatam menyebut bahwa masyarakat sedang "dihipnotis" oleh narasi transisi energi, padahal dalam praktiknya rantai pasok kendaraan listrik global dipenuhi eksploitasi di hulu. Hal ini membuktikan bahwa green energy tidak otomatis berarti fair energy.
Jalan keluar bukanlah menolak seluruh industrialisasi, tapi menuntutnya dilakukan secara adil, lestari, dan berlandaskan hak asasi manusia. Ketika keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir elite, dan kerugian ditanggung oleh rakyat kecil dan lingkungan, maka pembangunan bukanlah kemajuan, melainkan pembusukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar