Selasa, 10 Juni 2025

Resensi Film Parasite



Ketika saya pertama kali menonton film Parasite karya Bong Joon-ho, saya pikir ini akan menjadi sekadar film drama Korea yang sedikit gelap dan menegangkan. Tapi semakin saya tenggelam dalam ceritanya, semakin saya merasa tidak nyaman. Tidak nyaman karena apa yang ditampilkan begitu nyata, begitu dekat, bahkan terasa seperti cermin yang memantulkan kenyataan sosial yang saya saksikan sehari-hari. Sebagai mahasiswa dari keluarga biasa yang sedang berjuang mengejar pendidikan di tengah sistem sosial yang timpang, Parasite berbicara langsung ke dalam kepala dan hati saya.


Film ini mengisahkan keluarga Kim yang hidup dalam kemiskinan, tinggal di semi-basement yang lembab dan penuh kekacauan. Mereka kemudian menyusup ke dalam kehidupan keluarga Park yang kaya raya, dengan cara menyamar dan memanfaatkan kelemahan keluarga tersebut. Namun, alih-alih menjadi kisah sukses penuh inspirasi, Parasite justru berubah menjadi tragedi yang membongkar betapa rapuh dan kejamnya struktur kelas dalam masyarakat.


Salah satu hal yang membuat Parasite sangat mengena adalah bagaimana film ini menyamarkan pesan politik dan sosialnya dalam cerita yang tampak sederhana dan bahkan lucu. Di awal, kita melihat keluarga Kim yang penuh akal dan kreatif, mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara. Mereka tampak seperti korban sistem yang tidak adil, dan kita sebagai penonton cenderung bersimpati pada mereka. Namun, semakin dalam, kita mulai melihat sisi kelam dari keluarga Kim. Mereka bukan pahlawan. Mereka juga predator. Di sinilah saya merasa Bong Joon-ho jenius: ia tidak menyederhanakan narasi menjadi kaya jahat, miskin baik. Ia menunjukkan bahwa semua orang bisa menjadi parasit.


Dari perspektif mahasiswa, film ini juga relevan karena memperlihatkan bagaimana pendidikan diposisikan sebagai pintu masuk menuju kelas sosial yang lebih tinggi. Tokoh Ki-woo, anak sulung keluarga Kim, berpura-pura menjadi tutor bahasa Inggris dan hampir berhasil diterima sebagai "calon menantu ideal" oleh keluarga Park. Ia bahkan menggunakan gelar palsu dari universitas. Ini menggambarkan betapa besar tekanan terhadap generasi muda untuk "menjadi berhasil", meskipun harus menempuh jalan pintas. Di dunia nyata, saya melihat fenomena yang tidak jauh berbeda. Banyak mahasiswa yang rela melakukan apa pun demi nilai, magang prestisius, atau koneksi, karena mereka tahu betul bahwa kompetisi di luar sana sangat tidak adil.


Film ini juga bicara banyak tentang ruang. Keluarga Park tinggal di rumah megah, dengan taman luas dan ventilasi cahaya alami. Sementara keluarga Kim tinggal di bawah tanah, nyaris tak tersentuh sinar matahari. Bahkan dalam satu adegan, ketika hujan deras mengguyur kota, keluarga Park menikmatinya sebagai momen romantis di halaman rumah mereka. Sedangkan keluarga Kim harus lari menyelamatkan diri dari rumah yang kebanjiran dan penuh kotoran. Ruang fisik yang berbeda ini mencerminkan jarak sosial yang tidak bisa dijembatani. Sebagai mahasiswa yang tinggal di kos-kosan sempit dan sering harus memilih antara beli makan atau beli buku, saya sangat merasakan realitas ini.


Parasite membuat saya sadar bahwa kemiskinan bukan hanya soal uang, tapi juga soal peluang, harga diri, dan bahkan interpretasi terhadap bau. Salah satu titik balik dalam film terjadi ketika keluarga Park merasa terganggu oleh "bau khas orang miskin" yang melekat pada keluarga Kim. Ini sangat simbolis. Dalam masyarakat, sering kali kemiskinan tidak hanya membuat seseorang kehilangan akses ekonomi, tapi juga membuat mereka dipandang rendah dan tidak layak dihargai. Film ini membuat kita merenungkan ulang bagaimana kita memandang orang lain yang hidupnya berbeda dari kita.


Sebagai mahasiswa komunikasi, saya juga kagum pada cara Bong Joon-ho menggunakan visual sebagai bahasa. Transisi antaradegan, permainan cahaya dan kegelapan, serta framing ruangan, semuanya menyampaikan pesan tanpa perlu banyak dialog. Ini adalah pelajaran penting bahwa komunikasi tidak selalu harus verbal. Bahkan ruang kosong dan senyap pun bisa bicara sangat keras, bila digunakan dengan tepat.


Yang paling mengganggu dari Parasite bagi saya adalah bahwa tidak ada penyelesaian yang bahagia. Tidak ada keadilan yang ditegakkan. Tidak ada penebusan yang didapat. Dan mungkin itu memang tujuan Bong Joon-ho: untuk menunjukkan bahwa dalam sistem sosial yang timpang dan manipulatif, tidak ada pemenang sejati. Semua orang, baik si miskin maupun si kaya, terjebak dalam peran masing-masing, saling mengisap dan pada akhirnya saling menghancurkan.


Parasite bukan sekadar film bagus. Ia adalah refleksi tajam tentang realitas sosial yang sering kita abaikan. Ia mengajak kita berpikir, bukan hanya tentang kesenjangan ekonomi, tapi juga tentang nilai, moralitas, dan impian. Film ini menyentil kesadaran saya sebagai mahasiswa untuk tidak hanya sibuk mengejar IPK, tapi juga mulai lebih peka terhadap persoalan struktural di sekitar saya. Karena jika tidak, bisa jadi saya pun tanpa sadar sedang menjadi bagian dari sistem yang saya kritik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini Alasan Para Miliarder Dunia Membangun Family Office di Hong Kong

Orang-orang ultrakaya di dunia memiliki rahasia dalam mengelola dan melipatgandakan kekayaannya agar tetap utuh, bahkan mengupayakan tumbuh...