Anak dan Jeritan yang Masih Tertahan
Di balik riuhnya perayaan Hari Anak Nasional, di balik lomba-lomba ceria dan sorak-sorai meriah, masih terselip jeritan lirih yang jarang terdengar, jeritan anak-anak yang tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Mereka adalah anak-anak yang harapan di matanya seringkali dikalahkan oleh realitas pedih hidup.
Puisi berikut ini adalah teriakan sunyi mereka, sebuah refleksi atas luka yang terus menganga, dan seruan luhur untuk melihat, mendengar, serta bertindak nyata bagi mereka yang terlalu lama terdiam dalam keheningan penderitaan.
Hari Anak Nasional bukanlah sekadar seremoni atau momen simbolik belaka. Ia adalah panggilan moral bangsa untuk menegakkan hak anak, melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, dan memastikan tumbuh kembang mereka dalam lingkungan yang aman, ramah, dan penuh kasih.
Di tengah angka kasus kekerasan dan perdagangan anak yang masih mengkhawatirkan, kita diingatkan bahwa masih banyak anak yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan tulus, yang mereka dapat justru tangan dingin eksploitasi dan pengabaian.
Melalui puisi di bawah ini, kita mengingat kembali urgensi kolaborasi lintas elemen masyarakat, dari keluarga, sekolah, tokoh agama, aparat, hingga media, untuk membangun benteng perlindungan nyata bagi anak. Karena menciptakan generasi emas bukan hanya soal investasi pendidikan dan infrastruktur, tetapi juga tentang menyembuhkan luka batin yang selama ini terabaikan. Saat kita mulai mendengarkan jeritan itu, saat itulah kita mulai menata langkah menuju Indonesia yang lebih berkeadilan dan bermartabat, untuk semua anak.
Meski langkah kecil sering terabaikan,
Ia tumbuh dalam bising peradaban,
Di mana kasih kadang diperdagangkan.
Ada yang menjerit di ruang gelap,
Terjerat rantai sunyi dan kekerasan,
Diperjualbelikan di balik gemerlap.
Menanti dunia membuka pelukan,
Bukan tangan yang menggenggam cela.
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli tidak cukup hanya dengan lomba-lomba atau seremoni penuh warna. Di balik senyum anak-anak di televisi dan media sosial, masih banyak wajah-wajah kecil yang tak pernah terekam: mereka yang menjadi korban kekerasan fisik dan psikis, eksploitasi, hingga perdagangan anak yang terus mengintai dalam bayang kelengahan kita. Momentum ini seharusnya menjadi panggilan nurani untuk berpihak secara nyata kepada anak-anak yang terluka dan terabaikan.
Kekerasan dan Perdagangan Anak: Luka yang Terus Menganga. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di beberapa daerah, anak-anak dipaksa menjadi pekerja rumah tangga, buruh kebun, hingga korban eksploitasi seksual.
Yang lebih menyayat hati, masih ditemukan praktik jual beli anak berkedok adopsi ilegal atau penyaluran kerja. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli tidak cukup hanya dengan lomba-lomba atau seremoni penuh warna. Di balik senyum anak-anak di televisi dan media sosial, masih banyak wajah-wajah kecil yang tak pernah terekam: mereka yang menjadi korban kekerasan fisik dan psikis, eksploitasi, hingga perdagangan anak yang terus mengintai dalam bayang kelengahan kita. Momentum ini seharusnya menjadi panggilan nurani untuk berpihak secara nyata kepada anak-anak yang terluka dan terabaikan.
Kekerasan dan Perdagangan Anak: Luka yang Terus Menganga. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di beberapa daerah, anak-anak dipaksa menjadi pekerja rumah tangga, buruh kebun, hingga korban eksploitasi seksual.
Yang lebih menyayat hati, masih ditemukan praktik jual beli anak berkedok adopsi ilegal atau penyaluran kerja. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.
Hari Anak Nasional harus menjadi pengingat bahwa membentuk anak hebat bukan soal membangun gedung sekolah tinggi, tapi juga tentang meruntuhkan tembok ketidakpedulian yang membiarkan mereka tumbuh dalam luka. Saat kita membuka tangan untuk mendekap anak-anak ini, saat itulah Indonesia sedang menata langkah menuju masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar